WEB BLOG
this site the web

Dibalik Kejenakan Punakawan

Antum yang pernah "aktif" menikmati masa kecil di tahun80-an tentu tidak asing lagi dengan acara ria jenaka di TVRI tiap hari minggu. Acara lawak yang menampilkan 4 tokoh lucu pewayangan itu selalu menghibur kita tiap minggu siang.

Tapi tahukah antum, bahwa ke-empat tokoh komedi pewayangan itu ternyata bukanlah tokoh asli dalam cerita pewayangan kuno?? Ya, dalam kitab ramayana maupun mahabarata, tokoh SEMAR, GARENG, PETRUK, dan BAGONG sama sekali tidak dikenal.Ke empat tokoh itu adalah tokoh rekaan sunan kalijaga untuk merubah pertunjukan wayang dari sekedar hiburan menjadi berisikan dakwah.

Unsur Islami sebenarnya sangat kental dalam karakter punakawan, bagaimana tidak? Para wali membuat lakon-lakon tersebut untuk menyebarkan syiar-syiar Islam dengan cara akulturasi sehingga pesan-pesan dalam agama Islam sendiri dapat sampai ke masyarakat Jawa yang pada masa itu masih menganut Hindu-Budha dan animisme.

Selain sebagai penasihat, punakawan juga berperan sebagai pengemong ( pengasuh) , penghibur, kritikus sosial, badut, serta bahkan sumber kebenaran dan kebijakan.

Jika ditilik, ternyata istilah Petruk, Bagong, Gareng dan Semar sebenarnya berakar dari kata-kata bahasa Arab. Seperti berikut ini

Semar

Dalam cerita, dia adalah pengasuh utama para Pandawa. Bila didampingi olehnya, maka yang didampingi tidak akan menghadapi malapetaka. Wujudnya jelek : wajah tua namun berkuncung seperti anak kecil, tidak jelas laki perempuannya, mulut tersenyum tetapi matanya mbrebes mili (menitikkan airmata) yang perlambang keseimbangan.

Semar berasal dari kata bahasa Arab yakni "Mismar" yang dalam lidah Jawa menjadi Semar. Sedang Mismar sendiri berarti paku, dimana fungsinya adalah sebagai pengokoh dan melambangkan pedoman hidup manusia. Apakah pedoman hidup manusia itu? Tiada lain tiada bukan adalah agama. Oleh karenanya, Semar bukanlah tokoh yang harus dipuja bahkan didewakan sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok kepercayaan, namun penciptaan lakon ini didasarkan pada pelambangan agama sebagai pedoman hidup manusia.

Petruk

Kata Petruk sendiri berasal dari kata "Fatruk" yang dicukil dari kalimat Tasawuf "Fat-ruk kulla maa siwallahi" yang artinya tinggalkan semua apapun selain Allah. Wejangan atau petuah semacam inilah yang menjadi watak para wali dan mubaligh pada masa itu. Petruk juga dijuluki sebagai kantong bolong (kantung berlubang) yang bermakna setiap manusia harus berzakat dan menyerahkan jiwa raganya kepada Allah semata secara ikhlas, tanpa pamrih seperti berlubangnya kantung tanpa penghalang.

Bagong

Berakar dari kata Baqa’ (Orang jawa sering mengucapakn huruf 'ain dengan lafadz "ngain") yang bermakna kelanggengan atau keabadian, dimana setiap manusia tempatnya adalah di akhirat dan dunia adalah tempat mampir ngombe (tempat menumpang minum belaka).

Nala Gareng

Nala Gareng berasal dari kata "Naala Qariin" yang bermakna memperoleh banyak teman, dimana maksudnya adalah sesuai dengan dakwah para wali dalam memperoleh teman (umat) sebanyak-banyaknya untuk kembali ke jalan Allah SWT dengan sikap arif dan harapan yang baik.

Hal ini dilakuka oleh sunan kalijaga, karena di dalam tubuh walisongo sendiri terdapat pertentangan tajam mengenai cara berdakwah di tanah jawa ini. Di satu kelompok, Sunan Giri, Sunan derajat, dan Sunan Kudus berpendapat bahwa dakwah itu harus total, ajaran Islam tidak boleh dicampur dengan tradisi setempat, karena itu adalah bid'ah. Dan di satu kelompok lain sunan, bonang, sunan kalijogo, dan sunan muria berpendapat bahwa selama tidak bertentangan dengan syariah Islam, maka metode apapun boleh-boleh saja dilakukan.

Hal ini jugalah, yang membuat para wali kelompok pertama keberatan dengan pertunjukan wayang yang akan dilaksanakn oleh sunan kalijaga. Karena di selain wayang adal;ah peninggalan agama hindu. Bentuk wayang juga menyerupai makhluk hidup. Padahal ada larangan dalam Islam untuk membuat sesuatu yang menyerupai makhlk yang bernyawa.

Maka sunan Kalijaga-pun me-"modivikasi" bentuk wayang kulit dari bentuk awalnya. Tanganya di bikin panjang, hidungnya juga panjang, bentuknya pipih, matanya lebar, dan sebagainya. Sehingga wayang kulit tidak lagi berbentuk seperti makhluk hidup.Sehingg para wali ang lainpun bisa menerimanya.

Maka pertunjukan wayang kulit "Islami" untuk pertama kalinya dimulai ketika peresmian masjid demak. Dimana lakonnya adalah "Hilangnya Jimat kalimasada".Yang mana dalam cerita itu di kisahkan bahwa kerajaan amarta tengah diguncang bencana dan nestapa.Yang ternyata hal itu hanya bisa di atasi dengan dipakainya Jimat kalimasada oleh raja dan rakyatnya. Tahukah antum apa Jimat "kalimasada" itu? Ternyata kalimasada diambil dari kata "kalamah syahadat". Yang mengartika bahwa jika suatu bangsa ingin bahagia dan terlepas dari segala bencana. Maka tunduk dan patu memegang Jimat "kalimah syahadat" adalah kuncinya.

Subhanallah...betapa arif dan bijaknya para wali dulu ketika menyelesaikan perselisihan diantara mereka. Tanpa harus saling menghina, mengejek, atau bahkan merusak dan menyalahkan ajaran yang satu dengan yang lain. Sehingga justru dakwah bisa makin dinamis dan diterima oleh umat.

Rabbi Zidnaa ilman war zuqnaa fahman....
Amien...

0 komentar:

Posting Komentar

 

W3C Validations

Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Morbi dapibus dolor sit amet metus suscipit iaculis. Quisque at nulla eu elit adipiscing tempor.

Usage Policies