WEB BLOG
this site the web

Bercampur Tapi Berbeda

Sebuah ungkapan menarik dan sekaligus menggelitik pernah saya baca di sebuah status Facebook seorang teman : “Islam Tidak Perlu Dibela, justru dengan memeluk Islam saya merasa TERBELA”.

Kalau tidak kita tanggapi secara emosional, kalimat diatas sedikit banyak ada benarnya. Islam, secara ajaran sangatlah sempurna. Selain jaminan langsung dari Allah dalam dua ayat terakhir yang diturunkan kepada Rasulullah pada haji wada’. Para sarjana modern dari berbagai disiplin ilmu-pun mengakui bahwa sistem sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan yang dibangun oleh Muhammad adalah sebuah sistem yang brillian. Meskipun tidak semua kekaguman itu kemudian membuat para ilmuan modern itu memeluk Islam. Tapi cukuplah pengakuan mereka itu sebagai bukti bahwa agama ini memang sudah sempurna.

Salah satu kesempurnaan Islam adalah komitmen pembelaannya kepada siapa-pun yang tulus melaksanakan tata aturan Agama dalam kehidupannya. Agama ini mengajarkan syukur bagi yang kaya, dan sabar bagi si miskin. Agama ini-lah yang mengajarkan bagaimana menghormati tamu, tapi juga mengaskan bahwa tamu harus tau diri. Agama tawazzun (keseimbangan) yang menganjurkan hidup bahagia dunia dan akhirat. Agama yang melarang umatnya untuk mencari musuh, tapi juga melarang untuk tinggal diam jika musuh itu datang mengganggu.

Maka ketika kita sudah ber-Islam dengan kaffah. Maka seharusnya kepercayaan diri yang muncul. Percaya diri untuk menampakkan identitas ke-Islaman kita. Percaya diri bersaing di segala bidang dengan komunitas masyarakat lain. Percaya diri untuk mandiri, sekaligus percaya diri membangun jaringan kerja sama dengan banyak fihak.

Bukan sebaliknya, merasa takut, minder, inferior, atau menghindar dari kehidupan masyarakat yang plural. Sebab sikap yang demikian, justru akan membuat kita terasing, jumud (kolot), dan bahkan mundur. Biasanya yang kemudian mengikuti sikap-sikap diatas adalah fanatisme buta, merasa benar sendiri, dan bahkan destruktif. Merusak, menghancurkan, menghilangkan simbol-simbol yang dianggap musuh, bukan sekedar karena kebencian, tapi karena tidak bisa bersaing dengan mereka. Ibarat cerita seekor serigala yang bercerita kepada segenap penghuni Belantara kalau buah apel itu asam dan pahit, tidak enak dimakan, dan menyakitkan. Padahal kenyataanya tidaklah demikian. Hal itu terjadi karena serigala tidak pernah mampu memanjat Pohon Apel untuk memetiknya. Dia hanya iri ketika mendengar kera memuji-muji kenikmatan buah apel. Sedangkan serigala hanya mampu jadi pendengar saja.

Muhammad Abduh, Tokoh pergerakan Islam asal mesir yang lama hidup, belajar, berbaur, dan bertukar fikiran dengan para ilmuwan dan masyarakat di Perancis mungkin bisa kita jadikan contoh nyata tentang bagaimana seharusnya kita percaya diri dengan Ke-Islaman kita.

Beliau adalah seorang pemikir. Aktifis pergerakan. Sekaligus pembaharu. Buah fikirannya bukan hanya mempengaruhi perjuangan pembebasan di Mesir, bahkan lintas negara. Termasuk pergerakan Islam di Indonesia. Komitmennya untuk kebangkitan Islam tidak pernah luntur. Semangatnya untuk membawa kemajuan Islam tidak pernah pudar. Tapi itu semua sama sekali tidak menghalangi sosialisasi beliau dengan orang lain. Yang berbeda pemikiran, beda negara, bahkan berbeda keyakinan. Pergaulannya dengan banyak orang, sama sekali tidak mengurangi kebanggannya sebagai seorang Muslim. Tidak juga gagap - “shock kulturil”- sehingga latah ikut-ikutan budaya masyarakat perancis yang Liberal. Tapi juga tidak lantas “mengasingkan diri” dari pergaulan.Tidak pula takut atau rendah diri sebagai seorang Muslim yang juga kebetulan dari negeri jajahan Perancis.

Pada suatu jamuan makan malam. Muhammad Abduh nampak akrab dengan rekan-rekannya di rumah makan perancis. Sama sekali tidak nampak kegelisahan dari wajahnya tanda tidak percaya diri. Bahkan ketika rekan-rekannya mentertawakan cara makannya yang menggunakan tangan, sementara rekan-rekannya yang lain menggunakan pisau dan garpu. Abduh beralasan, demikianlah yang diajarkan oleh Rasulullah. Terang saja alasan ini menjadi bahan tertawaan lagi bagi rekan-rekannya itu.

“Jorok sekali nabimu itu, kenapa dia mengajarkan umatnya makanu dengan tangan yang kotor. Bukankah lebih bersih kalau kau makan sebagaimana kami, dengan sendok,pisau dan garpu yang bersih?”

Mendengar itu, Abduh sama sekali tidak marah atau malu. Dengan senyum dia menjawab :
“Mengenai hal itu, maka sesungguhnya aku makan dengan tanganku sendiri. Tentu aku sendiri yang paling tahu kebersihannya. Tapi yang jelas, tangan ini hanya aku gunakan untuk menyuapi mulutku sendiri. Sehingga aku sendiri tahu kebersihan makanan yang masuk kedalamnya. Sedangkan peralatan makan yang kalian gunakan, entah berapa kali mereka menyuapi mulut orang lain yang kita tidak pernah tahu kebersihannya dari kuman penyakit bukan?”

Sebuah jawaban yang telak. Sebuah jawaban rasional, dan bukan jawaban Emosional.Abduh tidak membawa pedang lalu berteriak-teriak membalas “penghinaan” rekan-rekannya itu terhadap cara makannya. Tapi menjawabnya dengan jawaban logis. Abduh faham, bahwa rekanya berbeda keyakinan dengan dia. Adalah percuma menjelaskan keyakinannya akan sunnah cara makan Rasulullah ini dengan dalil Al-Quran ataupun Hadis. Abduh juga mengerti, bahwa eropa baru saja mengalami euforia Renaisance liberalisme berfikir setelah berabad-abad terkungkung dalam doktrin Gereja. Maka jawaban yang dia pilih adalah jawaban yang logis, yang terbukti membungkam kesombongan rekan-rekan eropanya itu.

Pada kesempatan lain. Salah seorang rekannya bertanya kepadanya tentang apa alasan Islam melarang umatnya mengkonsumsi daging babi.

“Karena Babi itu binatang kotor, makan makanan yang kotor, dan hidup dilingkungan yang kotor pula. Ditambah lagi ada penyakit dalam usus babi yang akan membahayakan manusia jika mengkonsumsinya” Jawab Abduh

“Nah, kau lihat sendiri di peternakanku ini Babi-babi ini dipelahara di kandang yang bersih. Mereka makan makanan yang bersih dan minum air yang bersih pula. Setiap bulan, mereka di suntik anti cacing, sehingga tidak membahayakan manusia. Lalu apa Tuhanmu mengijinkan kamu untuk makan babi dari peternakan ini?” Kejar temannya.

Abduh tidak serta merta menjawab pertanyaan ini. Tapi dia meminta rekannya itu untuk menyediakan dua ekor Ayam Jantan, dan satu ekor ayam betina. Serta dua ekor babi jantan dan seekor babi betina. Dengan penuh keheranan, rekan abduh menyanggupi untuk menyediakan permintaannya.

Kemudian Abduh meminta agar Ayam betina itu dilepas, kemudian diikuti seekor ayam jantan. Tidak lama kemudian, nampak sang Ayam jantan bernafsu untuk “mengawini” ayam betina itu. Saat itulah Abduh meminta melepas Ayam Jantan yang satu lagi. Dan begitu melihat kehadiran “saingannya” itu. Ayam jantan pertama nampak marah. Bulu lehernya berdiri tanda dia merasa terganggu . Lalu bertarunglah kedua ayam itu hingga mati salah satunya.

Hal yang sama kemudian Abduh minta Babi Betina dan dua ekor Babi Jantan dengan “scenario” yang sama persis dengan Ayam sebelumnya. Hasilnya sungguh membuat orang perancis itu terkejut. Nampak ketika Babi Jantan yang kedua dilepaskan, maka Babi Jantan yang pertama nampak tidak meras terganggu, bahkan kemudian dia “mempersilahkan” bahkan membantu babi jantan kedua ini untuk ikut serta “mengawini “ babi betinanya.

“Nah, itulah kenapa kami dilarang makan babi. Karena sifat-sifat Babi yang buruk. Tuhan kami ingin memelihara kami dari sifat buruk itu. Sehingga kami masih punya kehormatan untuk melindungi istri-istri kami dari gangguan orang lain sebagaimana ayam tadi. Dan bukan kehilangan cemburu, sebagaimana Babi tadi, lalu mempersilahkan orang lain menyentuh, bahkan mencium istri kami didepan mata kami sebagaimana kalian melakukanya”

Subhanallah. Betapa indah kalau dakwah dimulai dengan hikmah dan bukan amarah. Alangkah teduhnya dakwah jikalau diawali dengan ajakan dan bukan ejekan. Betapa sejuknya dakwah jika diwujudkan dengan merangkul dan bukan memukul. Maka sungguh, kalau demikian yng terjadi. Maka kita akan merasakan betapa Islam telah membela kita, mengangkat derajat kita, dan membuat kita bangga. Betapa sempurna agama ini. Dan betapa sempurna pula Allah menjaganya.

Maka tugas kita adalah menebarkan keagungan itu sebagai Rahmat bagi seluruh alam. Dan bukan mengecilkanya perbuatan yang justru menjauhkan Islam dari umat-Nya. Bercampur, bergaul, bermasyarakat, bukan berarti harus ikut-ikutan. Kita tetap punya kebanggan dengan Islam kita, dan itu adalah baju terindah yang kita kenakan. Bercampur tapi berbeda. Ngeli nangin ora keli kata sunan kalijaga, MENGIKUTI ARUS TAPI TIDAK SAMPAI HANYUT. Wallahu a’lam.
 

W3C Validations

Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Morbi dapibus dolor sit amet metus suscipit iaculis. Quisque at nulla eu elit adipiscing tempor.

Usage Policies