WEB BLOG
this site the web

Menikmati Nasi Pecel Ponorogo

Pagi ini segabis olah raga pagi. Fikiran saya terbang ke kampung halaman. Biasanya dlu setelah olah raga pagi begini, tak ketin ggalan pasti mencicipi sarapan khas Ponorogo "Pecel Tumpuk"

Ya, nasi peel boleh ada dimana saja. Tapi sepertinya lidah saya sudah kadung cocok dengan kuliner khas kota reog ini. Perpaduan nasi putih pulen yang hangat, di campur beragam sayuran hijau segar yang sedikit layu karena di rebus, kecambah yang segar, di beberapa musim malah biasa menambahkan Ontong Pisang sebagai pelengkap, di guyur kuah sambel kacang yang Gurih dan mantap. Lalu ditaburi terancam ketimun segar dan kemangi sebagai penambah aroma.

Jangan lupa untuk menambah lauknya dengan kehangatan tempe goreng yang begitu Giruh menggugah selera.Di Ponorogo biasanya ada dua pilihan tempe. Yaitu tempe yang di goreng kering, dan tempe setengah matang yang biasa disebut "tempe kepleh", karena teksturnya lembek dan basah. Tapi soal rasa, jangan tanya...sapuan gurihnya bawang putih dan sedikit aroma merica yang lembut akan membuat kita tak henti mengecap rasa.

Ada pilihan lauk yang lain juga lho. Kalau mau yang tradisional dan vegetarian, ada "Lentho" (gorengan dari singking yang dicampur kedelai), Atau "rempah" (gorengan dari kelapa parut), "Rimbil" (hampir sama dengan rempah, tapi dengan tekstur parutan kelapa yang lebih kasar dengancampuran ikan teri) atau bisa juga rempeyek kacang atau rempeyek iwak kali bisa dijadikan pilihan....Mau lebih?? Sate ayam Ponorogo tentu bisa jadi pilhan selanjutnya....

Bagi temen-temen Holding, kemarin mungkin sempat mencicipi sate Ayam Ponorogo ini. Dagingnya menyatu, tidak terputus-putus.Tebal dan panjang. Di masak dulu sebelum dibakar, dengan bumbu kecap yang agak kental.Begitu digigit, akan rasa manis dan guruh akan langsung menyapa kita. tentu dengan tambahan sambal satenya, maka aroma pedas dan sedikit aroma arang akan manambah nafsu makan kita untuk menikmati gigitan selanjutnya....Sate ayam inilah yang jadi trade mark-nya Ponorogo...

Haus?? Jangan kuatir, perjalanan kuliner kita masih berlanjut ke Arah selatan kota. Di desa Jabung tepatnya. Desa yang berjarak 2 Km dari Pondok Modern Gontor ini sejak dulu dikenal sebagai penghasil minuman dawet yang mak nyuuuss luar biasa. Dari santan segar, dan cendol yang "fresh from teh open", di campur legen asli (Air gula kelapa sebelum dijadikan gula). Ditambah beberapa potong es batu yang segar di minum di pinggir persawahan yang menghijau...Sungguh Romantis untuk mengenang segala memori masa kecil. Segar, manis, gurih, dan mantap tentunya....

Bila waktu itu tiba....Semoga masih bisa aku berjumpa....mmmmm...mak nyos....

Dalam Bisnis Tidak Ada Demokrasi

Dalam dunia militer tidak ada demokrasi.Awal kehancuran sebuah pasukan adlah ketika ada diantara anggota pasukan yang mulai kurang loyal dan kurang percaya pada atasannya.Maka bisa ditebak, yang terjadi adalah komandan yang "lemah" dan pasukan tanpa komando. Tinggal menunggu waktu saja untuk merusak dan menghancurkannya.

Dalam Al-Quran telah diceritakan bagaimana akibat dari tidak loyalnya paskan kepada panglimanya.Yaitu ketika pasukan Israel dibawah pimpinan panglima thalut hendak menyeberangi sungai dalam perjalanannya menuju medan peerang melawa bangsa palestina kuno.Menjelang tiba di sungai tersebut, panglima thalut memerintahkan agar pasukannya tidak meminum air sungai itu kecuali beberapa teguk saja.Alasannya cuma satu, dia ingin melihat sejauh mana loyalitas pasukan yang dipimpinnya yang memang terkenal keras kepala itu.

Tapi apa yang terjadi, hanya sedikit diantara pasukannya yang mematuhi perintahnya.Kebanyakan pasukannya memang banyak yang belum bisa menerima bahwa mereka akan dipimpi oleh seorang pemuda penggembala kambing, dan bukan dari golongan "ningrat" mereka.Daan hasilnya bisa ditebak, sebagian pasukan yang tidak loyal itu "ngeper" melihat bala pasukan palestina yang begitu perkasa itu.Mereka sudah kalah sebelum perang. Bukan oleh musuh. Tapi oleeh ketidak percayaan mereka kepada kemampuan panglimanya.Karena sudah a priory, maka mereka juga tidak yakin dengan segenap strategy yang diutarakan oleh Thalut.Sang panglima hampir putus asa dengan keadaan itu, samapai akhirnya seorang pemuda bernama daud mengambil alih dengan penuh keberanian untuk membinasakan jaluth seorang diri.

Demikian juga dalam bisnis.Loyalitas pada atasan adalah hal mutlak tanpa reserve. Keputusan atasan adalah hal yang mutlak untuk dilakuakn. Jangan banyak bertanya, kecuali untuk hal-hal yang bersifat penjelasan tekhnis. Bisa jadi memang perintah itu agak "bombastis" dan "tidak masuk akal". Tapi memang tidak ada kata menolak dalam hal ini.Selama memang tidak melanggar regulasi baku yang sdah dsisepakati, Laksanakn saja, dan kalau memang belum sempurna hasilnya. Laporkan apa adanya.Dan biarkan itu menjadi bahan evaluasi untuk strategy ke depan.

Memang kendala utama dalam penerapan kaidah perang ini adalah karakter sang panglima itu sendiri.Kepercayaan dari bawahan harus senantiasa dijaga. Bagaimana mungkin pasukan akan percaya kalau komandanya memasang peluru saja tidak bisa?? Bagaimana mungkin seorang komandan akan di percaya kalau membaca alam saja dia kebingungan?? Kalau selalu ragu dalam setiap tindakan?? Kalau hanya bisa menyalahkan keadaan??

Maka kepatuhan seorang prajurit juga harus dibarengi dengan kecakapan seorang panglima. Ketegasan, kecemerlangan, dan kemampuan berfikir sebagai karakter wajib seorang panglima akan membuat dirinya di segani, bukan sekedar ditakuti. Dalam dunia bisnis, sebuah tantangan bagi seorang manajer adalah selalu me-refresh pengetahuannya mengenai kondisi internal, external, maupun up grade kemampuannya. Kalau hal itu bisa kita lakukan, maka perintah kita akan berarti nasehat, peringatan kita akan berarti ajakan, marah kita akan bernilai sayang, dan sub ordinat kita akan sering bicara di depan kita daripada berbisik di belakang kita.

Yang terkahir. Dalam dunia militer, pemimpin yang baik adalah yang bisa mengkader bawahannya untuk menjadi lebih baik. Panglima yang bak adalah panglima yang ketika dia tidak ada, maka secara terorganisir, meyulut daya kreatifitas prajuritnya untuk memenangkan setiap pertempuran. Insan utama dalam sejarah manusia, Rasulullah Muhammad adalah contoh sejati dalam hal ini. Betapa sepeninggal beliau, singa-singa padang pasir bermunculan menghentak wajah dunia. Para sahabat boleh merasa kehilangan. Tapi semangat dan ketauldanan beliau membakar setiap jiwa pemimpin umat untuk senantiasa berbuat yang lebih baik lagi.

Demikian juga dalam dunia bisnis. Saya baru membaca sebuah wawancara exclusife dengan PM Singapura lee shin loong yang ternyata sudah dikader sejak dia berumur 20 tahun !! Ketika lee kwan yeouw masih menjabat. Dia dididik oleh lee secara langsung, di ajarkan menghadapi singapura masa depan. Dijelaskan konsep pembangunan singapura yang berkelanjutan. Secara pelan tapi pasti, di munculkan dimata publik singapura sebagai sosok pemimpin masa depan yang bijak, cakap, dan penuh keteladanan. Maka ”demokrasi” ala singapura inipun berlangsung mulus. Sesaat setelah goh chok tong berhenti (PM Setelah Lee Kwan Yeuw), maka lee shin pun naik tahta dengan dukungan penuh rakyat singapura. Bukan dengan memaksakan Pegawai Negeri untuk nyoblos lee, atau mengerahkan militer untuk intimidasi. Tapi singapur memnag punya road map kepemimpinan yang sangat indah. Sehingga nyaris tidak terjadi saling jegal kebijakan antar pemmpin seperti di negara kita, yang justru membuat stabilitas ekonomi jadi makin amburadul. Dan dari bibir lee kwan yeouw inilah judul artikel saya ini terucap..katanya : ”Dalam Bisnis tidak ada demokrasi”. Dan singapura membuktikan itu....

Seandainya Palestina Itu Surabaya

Suatu kali, dari mimpi seorang kyai yang cukup di segani di Jawa Timur menyatakan bahwa, salah satu petilasan sunan ampel yang begitu keramat, beserta bebrapa peninggalan beliau seperti tongkat dan surbannya ternyata ada di kubur pada sebidang tanah yang ternyata sudah dibangun sebuah gereja peninggalan Belanda yang cukup besar. Dulu bahkan sri paus pernah melakukan misa di Gereja itu. Begitu berharganya gereja itu bagi umat kristiani, sehingga seluruh umat Kristen di dunia merasa harus ikut erta menjaganya

Tapi mimpi sang Kyai mengenai petilasan sunan Ampel itu juga tidak kalah menggoda. Bagi sebagian orang, petilasan Sunan dan wali itu bisa jadi sumber barokah yang luar biasa. Maka di susunlah strategi untuk meguasai Gereja itu. Dari mulai cara yang halus dan persuasive, dengan janji akan dibangunkan gereja baru yang lebih mewah dan besar, lalu meningkat menjadi kamuflase, dimana kelompok Muslim itu membangun sebuah Gereja yang mirip dengan gereja yang lama, agar pandangan orang tertipu dan menganggap bahwaq gereja baru itulah gereja keramat yangs sesungguhnya. Tapi ke semua usaha itu tidak berhasil. Pihak gereja dan umat Nasrani menolak keras upaya pemindahan paksa gereja mereka.

Eskalasi social mulai memanas. Beberapa anggota Ormas Islam bahkan mulai melakukan penghadangan terhadap Jemaat Gereja tersebut pada hari minggu. Pihak Gereja protes keras, sehingga melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwajib yang kemudian langsung memanggil Kyai kharismatik yang menyebarjkan mimpi tersebut untuk dimintai keterangan. Tersebar isu, bahwa kyai tersebut di tangkap dan dipernjara. Maka protespun meledak, para santri dan pemuda muslim menuju ke kantor polisi untu membebaskan kyai-nya. Terjadi salin dorong anatar polisi dan pengunjuk rasa yang berakhir bentrok. Lalu tiba-tiba terdengar tembakan keras. Dan seorang santripun tewas. Ternyata penembaknya adalah seorang anggota polisi yang kebetulan beragama nasrani.

Maka kekacauan-pun meledak di Surabaya. Umat Islam Surabaya tidak terima atas penangkapan dan pembubuhan seorang santri oleh aparat. Lasykar-Lasykar perjuangan segera di bentuk. Tujuannya satu, Menyingirkan umat Nasrani dari Bumi Surabaya. Maka mualailah kekacauan itu terjadi. Umat Nasrani di usir dimana-mana, Gereja-gereja di bakar, took-toko milik china Kristen juga di bakar. Tapi umat Nasrani juga tidak tinggal diam. Mereka siap mati membela keutuhan Gereja mereka. Bersatu mereka menjaga keutuhan Gereja mereka. Mereka pun minta bantuan ke daerah lain. Dan bantuanpun mulai berdatangan. Kekacauan semakin sengit. Tentara Indonesia bahkan tak bisa berbuat banyak untuk meredakan situasi. Beberapa diantaranya malah ada yang dirampas senjatanya oleh kelompok muslim, dan digunakan untuk mengancam kelompok Kristen. Maka terjadilah “pertempuran” yang tidak seimbang. Antara umat Islam dengan senjata Rampasannya, yang dilawan dengan gigih dengan lemaparan batu oleh pemuda-pemuda Kristen yang membela kesucian gereja mereka.

Dan beritapun segera menyebar. Eropa Bergetar. Vatikan kehilangan nalar. Kecaman dari seluruh dunia dating bertubi-tubi. Demo besar-besaran terjadi dimana-mana. Bendera Indonesia di bakar di Eropa. Amerika segera lantang menuduh Indonesia sebagai Negara yang tidak bisa melindungi hak minoritas. Uni Eropa menyerukan untuk memboikot semua produk Indonesia dan penerbangan Indoensia haram di Eropa. Di Roma dan Madrid, dua kutub katolik Eropa malah dengan tegas menyatakan Cruisade, alias perang suci terhadap umat Islam di seluruh dunia. Dewan keamana PBB rapat kilat. Tanpa ada veto dari Negara manapaun, kecaman terhdap Indonesia langsung diberikan. Termasuk sangsi Ekonomi dan tindakan Militer bagi pelanggran hak asasi manusia yang terjadi di Surabaya. Sementara NATO sudah mulai melakukan simulasi perang untuk siap sedia diterjunkan di Surabaya.

Seakan tak mau kalah, para kuli flashdisc-pun tak kalah heboh memberitakannya. CNN, BBC, ABC, dan segenap broadcaster international lain meliput setiap detail kekacauan di Surabaya. The Washington Post Bahkan sudah menurunkan headline besar dengan Judul..”The Arrow of Jesus Vs The sword Of Muhammad”. CNN secara jelas mewawancarai dan menyiarkan derita seorang biarawati yang tertembak kakinya hingga membusuk karena tertahan di dalam geraja yang terkepung oleh umat Islam itu. BBC mengangkat berita khusus mengenai seorang pendeta yang harus berangakt ke gereja dengan memakai sarung dan kopyah hanya untuk mengelabui para lasykar muslim yang menyerang gerejanya. Seluruh dunia dibuat menyaksikan, bagaimana kejamnya umat Islam terhadap gereja mereka. Betapa kengerian tengah mengepung saudara-sudara mereka di sana.

Dan dunia-pun marah. Indoensia di embargo. Dikepung dan siap diserang untuk dihukum. Kyai Kharismatik tadi di tuduh sebagai penjahat perang. PBB sepakat bulat-bulat untuk mengutuk dan menghukum Indonesia dari segala segi. Sampai Gereja keramat itu berdiri kembali. Indonesia di kucilkan, Surabaya d Musuhi, Umat Islam jadi terdakwa…Perang di depan mata….tak sampai sebulan, umat Nasrani di Surabaya pun kembali bisa menikmati ke bebasannya…..

Aku terbangun…..

Ah, aku sedang bermimpi rupanya. Sayup-sayup kudengar berita di televisi tentang Seruan Ulama untuk diadakan KTT umat Islam se dunia untuk menyelamatkan Al-Aqsa. Lalu disusul berita Organisasi Kenferensi Islam (OKI) yang berniat membawa masalah ini ke dewan keamanan PBB untuk disidangkan…Ah, aku langsungmatikan TV-ku…tak perlu kudengar berita selanjutnya, karena pasti bisa kutebak hasilnya…OKI hanya akan sebatas mengutuk, dan keputusan apapun yang merugikan Israel di DK PBB pasti di veto sama Amerika….Selebihnya, kita hanya bisa mencerca Israel lewat Blog, Mengutuk mereka di Facebook, kembali menyerukan boikot produk Yahudi dengan berdemo, dan selebihnya…Berdoa…

Aku tersenyum kecut….Seandainya Palestina Itu Surabaya…..

Ibarat Sebuah bangunan, Sahabat...

Analaogi kedua yang disampaikan Rasulullah tentang Ukhuwah islamiyah selain seperti satu tubuh adalah, bahwa persaudaran sesame muslim itu laksana sebuah bangunan dimana satu sama lain saling menguatkan. Sehingga umat Islam bisa berdiri dengan kokoh, gagah, aman, nyaman, dan cantik. Sehingga menarik siapapun untuk tinggal di dalamnya.

Akan tetapi, ada bebrapa filosofi lain mengenai bangunan ini yang sering sekali kita lupakan. Kalau melihat teks hadisnya, bahwa alasan Rasulullah mengumpakan persaudaraan Muslim itu laksana sebuah bangunan adalah, agar satu dengan yang lain bisa “SALING MENGUATKAN” dan bukan “SALING UNJUK KEKUATAN”…Justru filosofi inilah yang sering dilupakan sebagaian umat Islam saat ini. Sering kali hadis ini dibacakan, disaat yang membacakan justru ingin dianggap paling cakap dan kuat (dalam kampanye pemilu misalnya). Atau bagaimana Ayat tentang persatuan dan larangan berpecah belah (Ali-Imran 103) dibacakan, ditengah-tengah kemelut tanpa akhir tentang pertikaian pimpinan ormas atau pimpinan partai.

“SALING MENGUATKAN”….yah, bagaimana sebetulnya sebuah bangunan itu berdiri dengan unsur saling menguatkan?? Sobat pejuang Mari kita coba lihat…

Coba perhatikan gedung dimana antum sekarang membaca tulisan ini. Nampak kokoh dan indah bukan?? Kalau misalnya saya Tanya antum bahwa gedun g itu kuat karena rangka besianya yang kokoh, apakah antum percaya?? Saya yakin jawaban antum adalah…”Ya, tentu saja ada besinya..”

Kalau kemudian saya tanya kembali,” mana buktinya kalau gedung ini ada Rangka besinya, tidak Nampak satu besipun yang kelihatan??” Nah, saya juga yakin antum akan sedikit mencibir saya sambul mungkin menganggap saya bodoh, sambul berkata “ Ya ga mungkin kelihatan lah, kan tertutp tembok, tapi kalao tidak ada besinya, mana mungkin gedung ini bisa tegak berdiri??” Begitu mungkin jawaban antum….

Nah, sebenarnya itulah sifat dari sebuah bangunan yang saling menguatkan itu. Bahwa Ternyata tidak perlu selalu menampakkan diri untuk diakui eksistensi-nya dalam kehidupan. Tidak perlu menonjol-nonjolkan diri bahwa “Ini sukses karena saya..”…”Kalau tidak ada saya, ga mungkin seperti ini”…atau “Yang meresmikan ini harus saya, karena saya donatur terbesar proyek ini”…dan sebagainya. Hal inilah yang sering kita lupakan. Kalimat “saling menguatkan” sering justru kita gunakan untuk memaksa orang lain mengikuti kehendak kita agar kita sendiri kuat. Dan setelah kuat, maka kita dengan mudahnya melupakan mereka yang teah menguatkan kita.

Coba kita belajar dari besi pada bangunan tadi. Bertahun-tahun dia harus rela menahan beban bagunan yang kokoh itu untuk menjaga bangunan itu tetap berdiri. Kepadanya bergantung keselamatan oarnag-orang yang tinggal di dalam gedung. Tapi pernahkan orang memujinya?? Tidak pernah..!! Kebanyakan orang ketika melihat bangunan yang kokoh akan banyak memuji lantainya, Cat dindingnya, pagar rumahnya, gentengnya, atau interiornya yang mewah…Tapi tidak seorangpun memuji besi yang memang tidak kelihatan…

Lalu Apakah besi marah?? Apakah dia “ngambek” lalu ,meruntuhkan dirinya sendiri untuk mencelakai yang lain?? Tidak…!! Dan tidak akan pernah…sang besi begitu ikhlas mengabdi untuk menguatkan bangunan itu tanpa pernah sekalipun mengeluh atau perasaan ingin dipuji oleh orang lain…Baginya, pujian bagi tembok, lantai, atau genting adalah pujian juga untuk dirinya…Inilah sifat saling menguatkan itu, sikap ikhlas berjuang meski tak sekalipun dianggap pahlawan…sebuah contoh konkrit yang selayaknya kita tiru bukan??

Lalu bagaimana memupuk rasa saling menguatkan ini??

Sekali lagi, mari kita perhatikan bangunan di sekitar kita. Bangunan yang begitu napak terlhat anggun, nyaman, dan lembut dipandang, ternyata terdiri dari banyak bahan bangunan kasar yang ketika melihat bentuk awalnya saya yakin kita akan merasa kurang nyaman dengannya. Pasir, batu bata, besi, batu koral, semen, tanah liat, semua itu aalah bahan-bahan kasar yang hampir tidak mungkin menyatukannya secara langsung..Tapi ternyata “mereka” bisa menyatu, semua bisa saling mendukung dan menguatkan, bahkan bisa menjadi lebih indah dan penuh keyamanan…apakah yang menyatukan “mereka”?? …AIR…ya…AIR-lah yang telah mencampur ke semua bahan-bahan kasar itu menjadi bahan bangunan yang kuat namun nyaman untuk dilihat…

Air….yang lembut, sejuk, dan menyatukan..sifat itu juga yang sekarang ini nampak makin menghilang dari umat ini…Kelembutan dan kesejukan..Yang nampak sekarang justru wajah Islam yang kejam dan bengis. Seakan-akan Rasul mengajarkan bahwa Islam itu disebarkan dengan pedang..Pengrusakan, pemboman, pembakaran tempat ibadah, dan sebagainya justru banyak dilakukan oleh uamt Islam sendiri, sehingga dampaknya menimbulkan efek antipanti dari umat lain…

Padahal bangsa Arab yang keras itu jatuh ke pangkuan Islam karena kelembutan Rasulullah..Pribadi yang pernah menyuapi Yahudi buta di pasar makkah di saat yang bersangkutan selalu menghina Rasulullah setiap kali disuapi oleh beliau. Pribadi, yang tersenyum ketika seorang bayi mengencinginya ketika di masjid. Pribadi yang menjadi orang pertama yang membesuk orang yang melemparinya dengan kotoran Onta setiap berangkat ke masjid ketika dia sakit. Pribadi yang menolak tawaran Jibril untuk membalikkan Bukit uhud ke kampung Tha’if yang telah mengusir beliau dari dakwahnya…

Lalu dimana kelembutan itu kini?? Dimana kesejukan dakwah yang dicontohkan Rasulullah itu kini?? Sahabat..Umat ini di kehendaki berbeda dalam berbagai entuk oleh Allah. Ada yang sifatnya kasara, berangsan, pemarah, mudah tersinggung, ceria, humoris, pendiam, murah senyum, pemaaf, dan banyak sifat lain yang tidak pernah sama satu dan yang lainnya. Tugas kita adalah menyatukan perbedaan itu dengan kelembutanan kesejukan, sebab memang hanya itu yang bisa menyatukan mereka. Berapa banyak diantara kita yang dulu ketika “jahilyah” dulu tidak pernah mau mengenal Islam, dan berubah setekah kita merasa tersentuh oleh kelembutan para pembimbing-pembimbing kajian kita. Merasa dirangkul dan di rawat, merasa diperhatikan disaat semua orang menganggap kita samaph masyarakat yang kotor dan merusak…Prose situ yang nampaknya perlu banyak kita kembangkan lagi…Kita perlu menemukan lebih banyak lagu sumber-sumber mata air kesejukan yang akan senantiasa menetes dan mengembun distiap relung hati kita yang gersang…siapa dan bagaimana pun keadan kita dan saudra-saudara kita yang lain….

Sobat pejuang….Kita adalah Ibarat sebuah bangunan …mari saling menguatk

seperti kedua tangan jangan sperti kedua telinga...

Saya jadi teringat satu nasehat hujatul Islam, Imam Ghazali mengenai pergaulan dan persaudaraan antar sesama Muslim. Nasehat itu berbunyi :

“KUN KAL YADAINI WALAA TAKUN KAL ‘UDZUNAINI”
(Jadilah engkau sebagaimana kedua tangan, dan jangan berbuat seperti sifat kedua telinga)

Sobat pejuang…

Kenapa contoh baiknya pada kedua tangan? Dan contoh buruk di ibaratkan seperti sifat kedua telinga?? Ahai, pernahkah kita memperhatikan sifat bagian tubuh kita itu sehari-hari?? Mari kita perhatikan…..

Tangan kita adalah salah satu pasang dari sekian anggota tubuh kita yang letaknya paling berjauhan antara satu dengan yang lain. Dibanding dengan anggota tubuh kita yang berpasangan yang lain, seperti mata, kaki, dan telinga, tangan kita lah yang paling jauh letaknya antara tangan kanan dan tangan kiri. Akan tetapi meskipun letaknya berjauhan, tangan adalah anggota tubuh kita yang paling aktif “silaturahmi” antara satu dengan yang lain. Ketika kita bersalaman, mencuci tangan, berwudlu, menggaruk, mengolesi tangan kita dengan lotion, bersedekap ketika sholat, dan banyak lagi yang lain, senantiasa ada proses “silaturahmi” yang intens diantara keduanya.

Masing-masing juga saling mengetahui tugasnya, tanpa pernah merasa iri. Kita tahu tangan kanan senantiasa bertugas untuk hal-hal yang baik. Bersalaman, makan, membri sesuatu atau menerima sesuatu, melambaikan tangan, semuanya menggunakan tangan kanan. Sedangkan tangan kiri lebih kepada hal-hal yang sifatnya “jorok”. Akan tetapi adakah pernah kita temui tangan kiri “memberontak” dan tidak mau melakukan tugasnya hanya karena iri dengan tugas tangan kanan yang lebih “mulya”?? Tidak..!! Tangan kiri tidak pernah protes dengan tugasnya, dia ikhlas tanpa mengeluh mengerkjakan semua kewajibannya.

Namun ternyata, tangan kanan juga tidak mau egois. Dia tahu bahwa “saudaranya” telah bekerja keras tanpa mengeluh. Maka tangan kanan pun “membeli” jam tangan, untuk diletakkan di tangan kiri. Tangan kanan juga “membeli” cicin untuk disematkan di jemari kiri. Dia tidak egois, mentang-mentang tugasnya lebih “mulya” disbanding tangan kiri. Subhanallah…sunggu sebuah contoh yang begitu indah untuk kita tiru dalam pergaulan sehari hari….
Sobat Pejuang…

Beda sifat denga telinga kita. Coba kita perhatikan. Letak telinga kita itu berekatan bukan? Tapi tidak pernah sekalipun saling “menyapa”. Malah ketika salah satu mendekati yang lain, maka yang lain cenderung menjauh. (Coba antum menengok, bukankah kedua telinga tampak saling tdiak mau betemu??) Ditambah lagi. Kedua telinga itu mempunya sifat dengki kepada yang lain. Jikalau salah satu di berikan anting, pasti yang satu lagi minta diberi juga. Dan harus sama..!!! Seakan tidak mau saudaranya menerima nikmat lebih dari yang dia punyai. Keduanya diberi sama, atau tidak pakai anting sama sekali…Na’udzubillah kalau kita mempunyai sifat seperti itu …..

Nah, sobat pejuang…saatnya kita “belajar” menjembatani perbedaan diantara kita sebagaimana sifat kedua tangan tadi. Dan bukan malah memperdalam jurang perbedaan sebagaimana kedua telinga ini…Dan ukhuwah Islamiyah yang kokoh, tak kan lagi sebats mimpi….Insya Allah….

Pancasila in Various Languages

Pancasila (Jawa Ngoko)

Sjii : Gusti ora ono koncone
loro : Dadi wong kudu sing adil lan ojo kejem-kejem
telu : Indonesia bersatu kabeh
papat : karo tonggo-tonggo nek ono masalah diomongno bareng-bareng
limo : mangan ga mangan sing penting kumpul

Pancasila (Sunda)

hiji : Gusti nu ageng pisan
dua : ka sorangan teh sikapna kudu sami, ulah di
beda-beda keun tilu : Indonesiakuduna mah jadi hiji!
Opat : Rakyat Indonesiasaena pang mutuskeun sesuatu
teh disepakat keun heula. Biar bager lan bijaksana
Lima: Ceunah teh sikap sosialna kudu adil hiji sareng lainna.

Pancasila (Batak Toba)

1. Dang adong na pajago-jagohon di jolo ni Debata
2. Maradat tu sude jolma
3. Punguan ni halak Indonesia
4. Marbadai ... marbadai, dungi mardame
5. Godang pe habis saotik pe sukkup

Poncosilo (jawa kromo)

kaping setunggal: Gusti ingkang Maha satunggal
Kaping kalih: Tiang ingkang Adil lan beradab
kaping tiga: persetunggalan Indonesia
kaping sekawan: Kerakyatan ingkang dipimpin kaliyan
hikmat lan kewicaksonoan dateng permusyawaratan
kang diwakilkan.
kaping gangsal:Adil kang sosial kangge sakabehe tiang Indonesia

Pancasila (Palembang)

sute: Tuhan ne sute tu'la
due: jelme harus khapat same rate
tige: jelme Indones iane bersatu padu
empat: jeleme Indonesiane diketuci ngai hikmah dimane ngedapatkan jawaban dadi gegale masalah
Leme: kesameratean hidup ne jelmekangok Indonesia...
Pancasila (Ambon)
1. Torang samua tawu cuma ada Tuang Allah yaitu Tete manu...
2. Orang ambon samu harus tau adat
3. acang deng obet harus bisa bakubae
4.Paitua deng maitua harus bae-bae di rumah rakyat
5. samu harus bisa jaga diri karna ambon lapar makan orang..........

Pancasila (Manado)

1. Cuma boleh ba satu Tuhan
2. Selalu adil kong ja pake ontak
3. Torang samua satu, Bangsa Indonesia
4. Tu rakyat musti slalu bakumpul kong bicara bae-2 spy slalu ada kaputusan gagah yg semua trima deng nang hati.
5. voor seluruh ra kyat Indonesia, nyanda ada tu jabaku kase beda-2 perlakuan.

Pancasilo (Padang)

ciek: Bintang Basagi Limo
duo: Rantai pangikek kudo
tigo: pohon baringin gadang ta'mpek kito bacinto
ampek: kapalo banteng bataduk duo
limo: padi jo kapeh pambaluik nan luko..

Dari milis sebelah...

Pancasila in Various Languages

Pancasila (Jawa Ngoko)

Sjii : Gusti ora ono koncone
loro : Dadi wong kudu sing adil lan ojo kejem-kejem
telu : Indonesia bersatu kabeh
papat : karo tonggo-tonggo nek ono masalah diomongno bareng-bareng
limo : mangan ga mangan sing penting kumpul

Pancasila (Sunda)

hiji : Gusti nu ageng pisan
dua : ka sorangan teh sikapna kudu sami, ulah di
beda-beda keun tilu : Indonesiakuduna mah jadi hiji!
Opat : Rakyat Indonesiasaena pang mutuskeun sesuatu
teh disepakat keun heula. Biar bager lan bijaksana
Lima: Ceunah teh sikap sosialna kudu adil hiji sareng lainna.

Pancasila (Batak Toba)

1. Dang adong na pajago-jagohon di jolo ni Debata
2. Maradat tu sude jolma
3. Punguan ni halak Indonesia
4. Marbadai ... marbadai, dungi mardame
5. Godang pe habis saotik pe sukkup

Poncosilo (jawa kromo)

kaping setunggal: Gusti ingkang Maha satunggal
Kaping kalih: Tiang ingkang Adil lan beradab
kaping tiga: persetunggalan Indonesia
kaping sekawan: Kerakyatan ingkang dipimpin kaliyan
hikmat lan kewicaksonoan dateng permusyawaratan
kang diwakilkan.
kaping gangsal:Adil kang sosial kangge sakabehe tiang Indonesia

Pancasila (Palembang)

sute: Tuhan ne sute tu'la
due: jelme harus khapat same rate
tige: jelme Indones iane bersatu padu
empat: jeleme Indonesiane diketuci ngai hikmah dimane ngedapatkan jawaban dadi gegale masalah
Leme: kesameratean hidup ne jelmekangok Indonesia...
Pancasila (Ambon)
1. Torang samua tawu cuma ada Tuang Allah yaitu Tete manu...
2. Orang ambon samu harus tau adat
3. acang deng obet harus bisa bakubae
4.Paitua deng maitua harus bae-bae di rumah rakyat
5. samu harus bisa jaga diri karna ambon lapar makan orang..........

Pancasila (Manado)

1. Cuma boleh ba satu Tuhan
2. Selalu adil kong ja pake ontak
3. Torang samua satu, Bangsa Indonesia
4. Tu rakyat musti slalu bakumpul kong bicara bae-2 spy slalu ada kaputusan gagah yg semua trima deng nang hati.
5. voor seluruh ra kyat Indonesia, nyanda ada tu jabaku kase beda-2 perlakuan.

Pancasilo (Padang)

ciek: Bintang Basagi Limo
duo: Rantai pangikek kudo
tigo: pohon baringin gadang ta'mpek kito bacinto
ampek: kapalo banteng bataduk duo
limo: padi jo kapeh pambaluik nan luko..

Dari milis sebelah...

Dari Bilik Pesantren (bag Ketiga dari 3 tulisan/tamat)

Begitu sering kita mendengar ungkapan orang tua yang berkata kepada anak-anaknya :

“Nak, kalau kamu pinter, nilai kamu bagus, papa akan daftarkan kamu ke seklah unggulan…tapi kalau kamu malas-malasan, dan nilai kamu jelek, maka jangan salahkan papa kalau papa akan masukkan kamu ke pesantren…biar kapok..!!”

Masih banyak ungkapan sejenis yang sering kita temukan bukan? Yang intinya adalah pesantren itu tempat kumuh, kotor, kuno, kejam, dan menyakitkan, sehingga pantas sebagai tempat “rehabilitasi mental” bagi generasi bangsa. Saat ini ada istilah baru lagi untuk menyebut pesantren, yaitu “penjara suci”…sebuah istilah yang terkesan indah, tapi sebenranya sama saja..Mau disebut apapun, penjara ya tempat hukuman, bukan begitu??

Sebagai alumni pesantren, saya jelas tersinggung dengan ungkapan itu. Tapi sejujurnya, memang keadaan pesantren kebanyakan demikianlah adanya. Figur Kyai memang sentral, tapi sisi buruknya adalah keluarga kyai jadi golongan yang “exlusif” dan merasa Can Do No Wrong, sehingga efeknya, kalau pesantrennya masih kecil, akan berat bagi kyai untuk menghandle sendiri amanhanya, kalau toh sudah besar pesanteen itu, penyakit KKN akan muncul, sehingga meski kurang mempunyai kualitas, tapi masih kerabat dekat Kyai, maka biasanya bisa menduduki posisi “strategis’ dalam dunia pesantren.

Sisi lain dari pesantren adalah, terlalu Jumud (kolot) dalam menerapkan sitem pembelajaran. Sehingga pembahasan dan pembelajaran hanya berkutat di masalah fiqhiyah dan Aqidah. Ini bukan salah, tapi tentu harus di tambahi secara gradual untuk mnyesuaikan dengan perkembangan zaman. Dan yang jelas terlihat adalah, terlalu bergantungnya pesantren kepada figure kyai, sehingga ketika Kyai tersebut meninggal,, maka pesantrennya ikut mati

Dalam tulisan ini, tanpa bermaksud membanding-bandingkan, saya coba tuliskan sedikit tentang pembaharuan system manajemen pesantren, yang dilakukan oleh –sebut saja- Pondok Madani (menyesuaikan dengan sebutan pesantren di Novel “negeri 5 menara”) salah satu pesantren Modern Terbesar Di Jawa Timur . Sistem ini mungkin belum sempurna, tapi sebagai benchmark, saya kira antas untuk di bahas…

Pesantren Madani, sejak tahun 1960-an para pendirinya telah mewakafkan seluruh tanah yang mereka milik kepada umat yang diwakili oleh lembaga yang bernama badan wakaf. Jadi ini memang dilakukan untuk mengindari konflik antar keluarga kyai yang jamak terjadi ketika kyai sudah meninggal. Maka dengan wakaf itu, segenap keluarga kyai tidak mempunyai hak lagi di kemudian hari untuk mengambil fasilitas dari pesantren, kecuali kalu memang keluarga tersbut qualified dan ikhlas membantu pesantren.

Dalam pengembangannya, pesantren ini mengembangkan program “Panca Jangka”. Untuk istiqomah menjaga kualitas pesantren dan ruhul ma’hady yang ada. Kelima program jangka panjang itu adalah :

1 . Pendidikan Dan Pengajaran

Pesantren ini dulunya bermula dari sebuah Madrasah Kecil di zaman colonial Belanda. Para Muridnya juga hanya datang dari bebarapa tempat di sekitar desa tempat pesantren itu berdiri. Tapi para keluarga pendirinya sepakat, mengirimkan putra-putra mereka ke semua lembaga pendidikan yang maju di Indonesia waktu itu. Sehingga dari hasil “benchmark” itulah kemudian berdiri Pondok Madani dengan pembaharuan kurikulum pengajaran yang revolusioner pada masanya.

Perbaikan system pendidikan terus menerus dilakukan. Daintarnya dengan mendatangkan bebrpa pengajar langsung dari luar negeri. Maupun sebaliknya, mengirimkan guru-guru untuk pelatihan atau di biayai untuk studi di luar negeri. Hal ini selaras dengan kaedah ushul fiqh yang terkenal :

“Al-Muhafadzah ‘ala Al-Qadim As-Shalih wal Al-Akhdzu bil Jadid Al-Aslah”
(menjaga tradisi lama yang masih baik, dan mengambil hal baru yang lebih baik)

Seiring dengan perkembangan zaman, dan banyaknya guru-guru yang dikirim ke luar negeri sudah kembali ke pesantren, semenjak tahun 70an juga telah di bangun perguruan tinggi Islam di pesantren tersebut. Dengan bahasa pengantar Arab dan Inggris. Dan skripsi yang juga harus ditulis dengan bahasa Arab atau Inggris. Saat ini, perguruan tinggi pesantren tersebut tengah merintis program pasca sarjana. Hal ini untuk mewujudkan cita-cita pendiri pesantren, yaitu terciptanya lembaga perguruan tinggi Islam yang besar dan bermutu.

2.Infrastruktur Dan Pergedungan

Bicara soal fasilitas pergedungan. Bukan hanya bicara soal sarana kelas dan asrama saja. Tapi lebih dari itu, adalah juga pembangunan fasilitas yang mendukung terciptanya miliu dan lingkungan pesantren secara utuh dan dinamis.

Di pesantren Madani diatas, sejak dulu memang ada aturan yang melarang para santri berhubungan langsung terlalu sering dengan masyarakat. Hal ini bukan tanpa alasan. Karena nilai-nilai yang diajarkan di pesantren, jelas berbeda dengan apa yang “diajarkan” oleh masyarakat. Maka untuk mendukung hal itu, maka pesantren juga harus siap dengan infrastukturnya. Maka didirikanlah Koperasi Pelajar yang menyediakan segala kebutuhan santri, sehingga santri tidak perlu membli di luar. Didirikanlah Gedung Olah raga, agar santri juga bisa menyalurkan bakat dan minatnya tanpa harus pergi keluar. Saran informasi, baik itu internet maupun Koran untuk mewadahi kebutuhan santri akan informasi. Dibanguan fasikitas kesehatan, sebagai tindakan pertama bagi santri yang sakit. Dibangun kantin dan rumah makan yang dikelola sendiri oleh santri agar para santri juga tidak perlu jajan diluar…dan masih banyak lagi…

Maka hal inilah yang menjadi perhatian penting. Terkadang pesantren begitu menggebu-gebu dengan program tertentu atau disiplin tertentu, tapi mengesampikan factor ini. Hal ini, pada jangka pendek akan membuat program tersebut tidak optimal, dan pada jangka panjang akan membuat aturan tidak lagi diikuti oleh santri, karena toh akan berubah juga.

3 . Sumber dana (pembiayaan Pesantren)

Inilah point pentingnya. Sesuai dengan filosofi pendirian pesantren yang saya tulis pada bagian pertama lalu, bahwa inisiatif pendirian asrama dan prasaran lain adalah dari santri. Tapi tidak semua santri datang dari keluarga mampu yang bisa begitu saja menyumbang untuk pembangunan asramanya. Maka pesantren harus punya inisiatif untuk mencari sumber dana lain yang tidak memberatkan santrinya

Mengandalkan bantuan pemerintah?? Wah, bisa karatan nunggunya, apalagi dengan segala prosedur dan “potongan” yang ribet ga karua-karuan. Di pesantren Madani, kyai-nya berinisiatif untuk membangun unit-unit usaha ekonomi yang semuanya dikelola sendiri oleh staff pesantrean. Sampai saat ini, tercatat ada kurang lebih 22 unit usaha yang dimiliki pesantren. Dari mulai Toko Buku, Toko Besi, Pabrik Es, Pabrik Roti, hingga pengelolaan hutan di Sulawesi. Sehingga segala pembangunan di pesantren madani, tidak semata tergantung iuran SPP santri, dan juga tidak harus menunggu bantuan dari pihak lain.

Maka antum boleh percaya boleh tidak, uang mondok (plus Uang makan 3 kali sehari) di pesantren madani tersebut adalah Rp 170.000 sebulan. Coba antum cari di seluruh pelosok negeri, dimana ada ongkos kost seharga gitu plus uang makan?? Kualitas makannya bagaimana? Jangan ragu, dua kali seminggu ada menu daging / ikan pada hari Jumat dan selasa…Lalu bagaimana bisa semurah itu?? Rahasianya, tidak semua tanah wakaf yang di wakafkan oleh donator itu dibuat untuk pesantren. Ada yang terus ditanami dan digarap oleh pesantren sebagai lahan sawah garapan, yang hasilnya ya untuk makan santri itu….

4 . Kaderisasi

Perhatian utama untuk kelangsungan hidup pesantren di masa depan adalah kaderisasi. Karena berapa banyak pesantren di Indonesia yang Berjaya tapi kemudian menghilang seiring meninggalnya kyai sebagai sentral figurnya?? Atau ketika penggantinya justru tidak memahami tentang tantangan pesantren masa depan?? Sehingga kebijakannya bertolak belakang dengan cita-cita almarhum pendirinya??

Maka disinilah diperlukan proses kaderisasi yang berkelanjutan, untuk menjamin berlangsungnya perjuangan dan tercapainya cita-cita pesantren. Kader ini adalah asset utama. Mungkin hasilnya tidak bisa dirasakan seketika. Tapi kelak, dimasa yang akan datang, hasil manis dari infestasi itu akan sangat terasa.

Sejak awal berdirinya, pesantren madani sudah mulai mengirim banyak kadernya ke tomur tengah maupun ke Eropa, selama bebrapa tahun, mereka di biayai oleh pesantren sampai tuntas study-nya. Hasilnya? Ketika saat ini lembaga pesantren ini akan membuka program pasca sarjana, tidak sulit mencari pengampu yang menguasai bahasa Arab dan Inggris, hasil dari investasi kader yang dilakukan puluhan tahun lalu….

5 . Kesejahteraan Keluarga Pondok

Berusaha supaya kehidupan pendiri dan pengasuh tidak mejadi beban Pondok . Sebab Pondok adalah tempat beramal. Pendiri dan pengasuh-pengasuh Pondok- pun haruslah beramal kepadanya. Maka tidaklah pada tempatnya apabila mereka menggantungkan hidupnya pada Pondok . Bahkan sebaliknya Pondok Pesantren bercita-cita untuk adanya kedermawanan pengasuh-pengasuhnya dan kepada Pondok.

Ma’isyah para guru adalah hak, tapi bagaimana agar itu tidak mambebani keuangan pesantren?? Untu alasan itu lah, pesantren memang sudah seharusnya memiliki unit usaha ekonomi yang mendukung hal ini. Unit-unit tersebut dikelola langsung oelah para guru, tapi dengan manajemen keuangan satu pintu. Sehingga selain bisa lebih di kontrol, juga untuk menghindari kesan “area basah” dan “area kering” bagi para guru yang bertgas di tempat tersebut. Di Pesantren madani, tidak ada perbedaan ma’isyah, antar guru-guru yang menjaga unit-unit usaha tersebut, dan guru-guru biasa. Dan tidak ada kepastian nominal. Karena, seperti yang saya tuliskan sebelumnya, ada ruh keikhlasan yang harus dijaga. Maka konsep ma’isyah di pesantren madani, adalah kalau di sesuaikan dengan keuntungan dan laba unit-unit usaha pesantren tersebut, setelah di kirangi dengan prioritas pengembangan pesantren. Semua tercatat, dan transparan, dilaporkan setiap tahun oleh kyai kepada sidang badan wakaf.

Begitulah…Pesantren adalah lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia. Nilai-nilai filosofinya tidak boleh hilang bahkan jangan sampai berubah. Tapi pengelolaan, metodologi, dan manajemennya harus senantiasa diperbarui. Sehingga kelak kita akan mendengar nasihat manis kita kepada anak-anak kita…

“Nak…belajar yang rajin ya…kelak jika engaku pandai, teruskanlah belajarmu di pesantren…sebab dia bukanlah sebuah penjara”

tamat

Dari Bilik Pesantren (bag Kedua dari 3 tulisan)

Pada tulisan saya yang pertama, sedikit penjelasan mengenai asl-usul dan landasan filosofis didirikan pesantren. Lalu bagaimana dengan kurikulum di pesantren?? Bagimana mengolah kurikulum untuk sebuah pesantren Unggulan??

Sebenarnya, pesantren itu (apapun namanya) mau pesantren Modern, tradisional, unggulan, pesantren Juara atau apapun namanya, yang tidak boleh dilupakan adalah : KURIKULUM PESANTREN ITU BERLANGSUNG 24 JAM NON STOP.

Jadi bicara kurikulum pesantren adalah bicara tentang sebuah sistem pendidkan berasrama dimana segala kehidupan yang meliputinya adalah sebuah materi pendidikan. Jadi tidak cukup sekedar mengatur dari jam 7 samapai jam 2 siang di kelas. Tapi juga pendidikan disiplin berasrama, pendidikan mandi yang baik, makan yang benar, berbicara dan mengobrol yang bijak, berolah raga yang sesuai, belajar seni yang membangun, belajar berpidato yang terarah, belajar memimpin, belajar ikhlas dipimpin, belajar berbahasa asing yang aktif dan berkelanjutan, tahsin qiroaat al-quran secara fasih dan tartil, berlajar berpakaian yang sederhana dan sopan, belajar mengelola diri sendiri dan lingkungan, belajar tahu tentang orang lain, sampai belajar bagaimana mengolah tidur yang yang benar…dan semuanya itu terjadi 24 Jam sehari, penuh…!!

Pesantren adalah laksana sebuah keluarga, dimana kyai dan guru-guru sebagai figur orang tua dan santri senior sebagai figure kakak yang membantu orang tua untuk mengasuh adik-adiknya. Maka apa yang diajarkan dikelas, dengan mudah bisa langsung dipraktekan di asrama, tak perlu ragu, Karena ada kakak senior yang ikhlas membimbing. Interaksi antara Guru dan murid bisa berlangsung terus menerus, karena mereka tinggal dilingkungan yang sama. Di lingkungan seperti inilah, fungsi TRIBRATA Pendidikan ( Sekolah, Keluarga, Dan Masyarakat) dapat secara optimal dan terpadu dilaksanakan.

Saya ingat, ketika pemerintah kita dapat “pesanan” untuk menghapus kurikulum Jihad di mata pelajaran pesantren. Setelah diteliti, ternyata tidak satupun mata pelajaran pesantren yang mengajarkan Jihad (baca Bom Bunuh Diri). Tapi kenapa doktrin jihad itu begitu tertanam dibenak para santrinya?? Para pemngamta pendidikan lupa, bahwa “kurikulum” yang mengajarkan Jihad, diperoleh justru di luar jam sekolah mereka, dilingkungan kamar, interaksi antar santri, dan latihan orasi tiap pekan. Juga ketika ditanya, bagaimana dalam waktu singkat ( 3 Bulan) para sanyri sudah bisa berbincang-bincang dengan bahasa Aran dan Inggris dalam percakapan sehari hari mereka?? Sedangkan dengan sitem kurikulum terbaru sekalipun sangat sulit mewujudkannya?? Jawabannya juga sama, Karena setelah mereka diajar pelajaran bahasa di kelas, mereka langsung menggunakannya dalam bahasa pergaulan mereka sehari-hari yang memang berdidplin untuk berbahasa Asing. Sedangkan di sekolahn Umum, sepulang sekolah, di keluarganya, siswa akan kembali berbahasa Indonesia / daerah, sehingga susah untuk membiasakan diri berbahasa asing.

Jadi kurikulumnya adalah total kehidupan itu sendiri. Memang ada yang formal tertulis. Tapi yang paling utama, tentu adalah kurikulum nyata yang mengatur pola kehidupan selama 24 jam penuh. Kehidupan pesantren ini, senantiasa diliputi oleh paling setidaknya lima Ruh kehidupan muslim, yang di pesantren kami dikenal dengan panca jiwa.

1. Keikhlasan

“Al-Ikhlasu Ruhul Amal” (ihlas adalah jiwa dari setiap perbuatan). Ini dasar dari semua jiwa pesantren. Kyai dan Guru-guru ikhlas mengajar dan membina para santri. Dan santri secara ikhlas menunut ilmu kepada Guru-gurunya. Bisa jadi usia santri itu lebih tua dari Gurunya (di dunia pesantren hal ini jamak terjadi). Tapi keikhlasan untuk menuntut ilmu akan membuat segala perasaan “tidak enak” itu akan hilang.

Jiwa ini berarti sepi ing pamrih, yakni berbuat sesuatu bukan karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Segala perbuatan dilakukan dengan niat semata-mata untuk ibadah, lillah. Kyai ikhlas medidik dan para pembantu kyai ikhlas dalam membantu menjalankan proses pendidikan serta para santri yang ikhlas dididik.

Jiwa ini menciptakan suasana kehidupan pondok yang harmonis antara kyai yang disegani dan santri yang taat, cinta dan penuh hormat. Jiwa ini menjadikan santri senantiasa siap berjuang di jalan Allah, di manapun dan kapanpun.

Iklhas bukan berarti bekerja tanpa dibayar seperti Romusa. Tapi ikhlas adalah mendasarkan semua perbuatan karena memang ini perintah Allah. Gaji bulanan adalah Rizki yang Allah sudah atur peruntukannya. Tapi tidak semata-mata guru mengajar hanya untuk itu. Sebab kalau semata-mata untuk itu, maka semua akan diperhitungkan dengan materi. Mamberi pelajaran tambahan ketika malam hari, menjadi imam tahajjud, memberi tambahan tahsin al-quran, menjadi pembikbing gerakan bahasa, bahkan menjadi supir bagi tamu pesantren dan mengantar mereka keliling kampus pesantren, semua diperhitungakn dngan materi, sehingga justru perkembangan pesantren akan terhambat, karena setiap gerakan, menunggu “kompensasi” dulu sebelum dilaksanakan.

2.Jiwa kesederhanaan

Kehidupan di pondok diliputi oleh suasana kesederhanaan. Sederhana tidak berarti pasif atau nerimo, tidak juga berarti miskin dan melarat. Justru dalam jiwa kesederhanan itu terdapat nilai-nilai kekuatan, kesanggupan, ketabahan dan penguasaan diri dalam menghadapi perjuangan hidup.

Di balik kesederhanaan ini terpancar jiwa besar, berani maju dan pantang mundur dalam segala keadaan. Bahkan di sinilah hidup dan tumbuhnya mental dan karakter yang kuat, yang menjadi syarat bagi perjuangan dalam segala segi kehidupan

Dalam kesederhanaan itu santri di ajarkan bagaimana tidak mudah mengeluh. Tidak mudah menyalahkan keadaan. Tidak mudah bingung dan gugup menghadapi masyarakat. Dakwah tanpa computer?? Tanpa hape?? Tanpa Motor?? Ato bahkan tanpa tempat tinggal seklaipun, bukan hal sulit bagi para santri yang terdidik dengan jiwa kesederhanaan. Fasilitas minim juga bukanlh merupakan hambatan. Karena ketrampilan jauh lebih diperlukan dari sekedar alatnya bukan?? Bukan seperti sebagian artis dan masyarakat kita yang begitu “latah” membeli Blackberry,padahal hanya 10% dari pemilik alat komunkasi tersebut yang juga berlangganan paket Email push itu…Yang 90%?? Ah, antum tentu sudah tahu jawabannya……

3. Kemandirian

Berdikari atau kesanggupan menolong diri sendiri merupakan senjata ampuh yang dibekalkan pesantren kepada para santrinya. Berdikari tidak saja berarti bahwa santri sanggup belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri, tetapi pondok pesantren itu sendiri sebagai lembaga pendidikan juga harus sanggup berdikari sehingga tidak pernah menyandarkan kehidupannya kepada bantuan atau belas kasihan pihak lain .

Inilah Zelp berdruiping sy s te e m (sama-sama memberikan iuran dan sama-sama memakai). Dalam pada itu, Pondok tidaklah bersifat kaku, sehingga menolak orang-orang yang hendak membantu. Semua pekerjaan yang ada di dalam pondok dikerjakan oleh kyai dan para santrinya sendiri, tidak ada ISTILAH PEGAWAI di dalam pondok pesantren.

4.Ukhuwah Islamiyah

Kehidupan di pondok pesantren diliputi suasana persaudaraan yang akrab, sehingga segala suka dan duka dirasakan bersama dalam jalinan ukhuwwah diniyyah. Tidak ada dinding yang dapat memisahkan antara mereka. Ukhuwah ini bukan saja selama mereka di Pondok, tetapi juga mempengaruhi ke arah persatuan ummat dalam masyarakat setelah mereka terjun di masyarakat.Santri boleh berasal dari keluarga Ormas tertentu atau Partai tertentu misalnya. Tapi ketika masuk pesantren, segala atribut itu harus dilepaskan. Hal ini untuk menghindari adanya “friksi-friksi” dalam pesantren yang akan mengganggu ruhul ukhuwan yang ada di dalamnya.

Terbukti, dengan adanya kurikulum ukhuwah ini, para alumni pesantren malah bisa berperan di semua golongan masyarakat dengan tetap membawa ukhuwah yang dahsayat, tanpa saling menjatuhkan dan mengejek. KH Hasyim Muzadi aktif di organisasi NU, Prof Din Syamsudin Menjadi ketua PP Muhammadiyah, Dr. Hidayat Nur wahid aktif di Parpol, Alm Nurkholis madjid Aktif bahkan menjadi Icon Islam Liberal, sedangkan Abu Bakar Ba’asyir menjadi Icon Islam Radikal…Tahukah antum, mereka berasala dari Almamater pesantren yang sama, Cuma beda angkatan?? Sungguh indah pelangi pesantren itu….

5Jiwa Bebas

Bebas dalam berpikir dan berbuat, bebas dalam menentukan masa depan, bebas dalam memilih jalan hidup, dan bahkan bebas dari berbagai pengaruh negatif dari luar, masyarakat. Jiwa bebas ini akan menjadikan santri berjiwa besar dan optimis dalam menghadapi segala kesulitan. Hanya saja dalam kebebasan ini seringkali ditemukan unsur-unsur negatif, yaitu apabila kebebasan itu disalahgunakan, sehingga terlalu bebas (liberal) dan berakibat hilangnya arah dan tujuan atau prinsip.

Sebaliknya, ada pula yang terlalu bebas (untuk tidak mau dipengaruhi), berpegang teguh kepada tradisi yang dianggapnya sendiri telah pernah menguntungkan pada zamannya, sehingga tidak hendak menoleh ke zaman yang telah berubah. Akhirnya dia sudah tidak lagi bebas karena mengikatkan diri pada yang diketahui saja.

Maka kebebasan ini harus dikembalikan ke aslinya, yaitu bebas di dalam garis-garis yang positif, dengan penuh tanggungjawab; baik di dalam kehidupan pondok pesantren itu sendiri, maupun dalam kehidupan masyarakat.

Jiwa yang meliputi suasana kehidupan Pondok Pesantren itulah yang dibawa oleh santri sebagai bekal utama di dalam kehidupannya di masyarakat. Jiwa ini juga harus dipelihara dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya.

Jadi mempersiapkan kurikulum pesantren, artinya mempersiapkan total pola kehidupan keluarga pesantren selama 24 jam. Dan ini biasanya memang memerlukan proses trial and error. Tapi sebagai sebuah ijtihad pendidikan, hal itu jelas bisa dimaklumi. Kurikulum kelas itu penting, tapi metode pengajarannya jauh lebih penting, sedangkan Ruhul Mudarris (jiwa pendidik) adalah yang paling penting diantara semuanya…

Wallahu a’lam….(to be continued)

Dari Bilik Pesantren (bag Pertama dari 3 tulisan)

Beberapa hari yang lalu, salah seorang teman kantor berbincang dengan saya mengenai program pesantren unggulan. Ada satu pertanyaan menggelitik yang dia ungkapkan : “bagaimana sebenarnya membentuk kurikulum pesantren yang baik itu?? Sehingga outputnya juga bagus dan bermutu??”

Saya menjawab pertanyaan itu dengan agak panjang. Karena memang mebicarakan pesantrean bukanlah membicarakan Hitam dan Putih sebuah lembaga pendidikan. Tapi lebih dari itu, adalah juga membahas tentang akar filosofis pesantren, ruhul jihad-nya, keilmuan, lingkungannya, sitem pendidikannya, manajemen sumber daya manusianya,sampai kemandiriannya. Kompleks memang, tapi untuk sekedar tahu “luarnya”, antum bisa membaca novel 5 Menara yang secara apik menerangkannya dengan ringkas dan jelas.

Tidak perlu terlalu rumit sebenarnya memahami apa itu pesantren?? Kyai saya dulu secara sederhana menyatakan bahwa devinis pesantren adalah :

“LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM BERASRAMA, DIMANA MASJID MENJADI PUSAT KEGIATANNYA DAN KYAI SEBAGAI SENTRAL VIGURNYA”
Sederhana bukan?? Barangkali ada yang menganggap pengertian diatas terlalu mengkultuskan vigur kyai. Tapi memang begitulah adanya. Coba simak baik-baik asal usul pesantren berikut ini :

“Pada mulanya ada seorang kyai yang mendirikan masjid disebuh tempat. Lalu beberapa orang datang menemui sang kyai untuk MINTA diajar, menuntut ilmu. Lama kelamaan, semakin banyak orang yang datang kepada kyai sehingga rumah kyai tidak mencukupi lagi untuk menampung mereka. Sehingga atas inisiatif para santri sendiri, mereka mendirikan pemondokan disekitar rumah kyai untuk fasilitas pendidikan mereka sendiri.”

Jadi jelas, sejak awal filosofi pesantren mengajarkan pesantren adalah medan perjuangan, medan pelatihan dan pencetak generasi pejuang. Kyai tidak pernah memungut uang pendidikan, bahkan awalnya kyailah yang “mengidupi” para santri. Maka pendirian bangunan, dan fasilitas lain adalah inisiatif santri sendiri. Yang mereka upayakn sendiri, dan mereka jaga sendiri. Jadi Kyai tidak pernah “memanggil” santrinya untuk datang, tidak pernah pasang iklan, tidak pernah koar-koar kesana kemari tentang faslitas pesantren ini itu dan sebagainya. Karena filosofi pesantren adalah perjuangan. Bukan kenikmatan, apalagi fasilitas duniawi. Maka Kyai tidak akan pernah memikirkan dunia. Ini filosofi. Lalu apa kyai tidak boleh kaya?? Tentu boleh, tapi dengan syarat pesantren yang dikelola lebih “kaya” lagi untuk memajukan umat. Sebab fungsi pesantrean adalah lembaga “mundzirul Qaum” (pemberi perinagatn kepada kaumnya) sebagaiman firman Allah dalam surat at-taubah 122 :

“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”

Jadi memang harus ada muslim yang menjadi pengusaha sukses, politikus unggul, pengacara handal, tentara yang perkasa, pedagang yang kaya raya…harus ada…harus ada…tapi tugas pesantrena memang bukan untuk itu semua, tugas pesantren memang sebagai Pemberi peringatan” apabila para Ekonomom, Politikus, dan pengusaha Muslim itu “kembali” kepada mereka selepas berjuang.

Maka kalau memang bercita-cita membangun pesantren, ya jangan bercita-cita untuk kaya dari pesantren. Peribahasanya : “Hidup-hidupilah Pesantren, Jangan mencari hidup dari pesantren”. Pahit memang, tapi justru itulah yang membuat pesantren masih eksis sampai sekarang. Tidak ada demo murid yang memprotes fasilitas pesantren yang “apa adanya”, karena memang mereka tidak pernah diundang dan dijanjikan macam-macam tentang fasilitas oleh kyainya. Mereka datang sendiri, meminta kyai ntuk mengajarkan ilmu, kok aneh jadinya kalau mendemo kyai. Kalau tidak cocok di medan kaderisasi pejuang ini ya silahkan keluar.

Nasehat Kyai saya yang senantiasa saya ingat adalah :

“Berjuang dulu, beramal, ikhlas…Sebab amal yang ikhlas anak menciptakan aktifitas, aktifitas yang istiqomah akan menimbulkan mobilitas, mobilitas yang terarah akan menciptakan kreatifitas, dan kreatifitas yang baik akan menelorkan kualitas, sedangkan kualitas yang terjaga tentu akan membentuk kuantitas, setelah kuantitas terbentuk, baru bicara FASILITAS..!!!”

Jadi Faslitas diberikan setelah adanya kuantitas yang berkualitas. Bukan sebaliknya, fasilitas diadakan duru, sambil “berharap” akan mendulang kuantitas yang berkualitas. Ini sudah keliru secara filosofis. Dan justru ini yang banyak terjadi di “pesantren2” abad 20. Masuk pesantren, yang pertama hadir di benak adalah “saya akan mendapat fasilitas apa” dan bukan “Saya bisa beramal apa?” Padahal pertanyaan kedua inilah yang justru akan sangat mendukung keberadaan dan kelangsungan hidup pesantren. Sebab dengan pertanyaan itu, maka pesantrean boleh punya unit usaha ekonomi, pesantren harus punya koperasi, harus punya perkebunan, harus punya basis-basis ekonomi, tapi bukan sebagai Fasilitas pribadi kyai atau Gurunya, tapi adalah untuk mendukung kemandirian pesantren, agar para santri bisa belajar optimal dengan biaya minimal.

Apakah ini berarti pesantren hanya mengajarkan Agama saja?? Tidak dengan ilmu yang lain?? Ah, tentu tidak. Lagian siapa yang mengajarkan adanya dikotomi ilmu agama dan ilmu umum?? Kami dulu selalu diajari bahwa kalau ditanya, berapa prosentasi perbandingan antara ilmu agama dan ilmu umu yang diajarkan di pesantren kami?? Maka jawabannya adalah : 100% AGAMA dan 100% UMUM…!!

Tidak ada perbedaan itu. Fikih adalah ilmu umum, karena dengan itu kita seharusnya bermuammalah, matematika adalah juga ilmu agama, karena dengan itu kita tahu perhitungan tahun untuk penentuan waktu ibadah kita. Bukankah ulama ulama kita jaman dulu adalah bukan sekedar para Faqih dan Mufti hebat, tapi juga ahli astronomi dan ekonomi yang dahsyat?? Bukankah Imam Syafi’I adalah juga seorang matematikawan?? Bukankah Abu yusuf adalah qadi syariaah Khalifah Abasiyah sekaligus penasehat ekonominya?? Bukankah ibnu sina adalah seorang Faqih tauladan yang juga ahli kedokteran??

Justru dikotomi itulah yang sudah menjebak kita selama ini. Sehingga sarjana sastra seakan-akan “tidak sah” untuk tahu ekonomi, sebagaimana sarjana tarbiyah atau ushuludin tidak akan bisa melamar kerja di dunia perbankan. Yang lebih parah lagi, dikotomi itu memunculkan idiom bahwa agama itu adalah Arab an Umum itu identik dengan bahsa Inggris. Jadinya, untuk membuat sesuatu itu “islamy” sangat mudah, tinggal mengganti istilahnya saja menjadi Arab. Komentator acara “Take Him Out” tinggal diganti nama menjadi “Ust Cinta” biar acara pintu gerbang zina itu menjadi Nampak Islami, nanti akan ada lagi kata-kata : “Kita ga Pacaran kok, kita cuman Mahabbah aja…” Lha emang apa bedanya??

Salah kaprah memang…tapi itulah kenyatannya….

(To Be Continued)

Laksana Busur Panah

Istriku menunjukkan sebuah sms dari temannya di Ponorogo, yang isinya kurang lebih mnta nasehat bagaiman biar hatinya siap untuk pergi mendampingi suaminya ke luar Jawa, dan meninggalkan pekerjaan di sebuah rumah sakit swasta di sana. Dia tahu bahwa dia memang harus menemani suaminya, tapi hatinya masih takut untuk menyeberang. Masih ragu, untuk bagaiman hidup di tanah orang, setelah bertahun-tahun menyatu dengan tanah kelahirannya di kota Reog.

Aku tersenyum menggoda kepada Istriku. Mengingatkan bahwa diapun sempat punya pengalaman yang sama sebelum saya yakinkan untuk bersama “merantau” ke Bandung. Sedikit bernostalgia, saya pun kembali menceritakan apa yang dulu saya pernah sampaikan kepada istri saya untuk menghapus keraguan itu. Gerimis kota Bandung sore itu, secara reflek membawa ingatan kami 3 bulan yang lalu, di sekitar komplek stadion Gajayana Malang…Ditemani Dua Mangkuk Angsle (minuman hangat khas malang), dua piring nasi liwet dan udang bakar madu,sambil sesekali tersenyum melihat tingkah polah si kecil yang baru belajar berjalan, sembari mengenang masa lalu,merangkai masa kini, dan mencoba merenda-renda masa depan, mulailah saya sampaikan sebuah nasehat dari Imam Syafi’I tentang merantau….

*Pergilah (merantaulah) dengan penuh keyakinan, niscaya akan engkau temui lima kegunaan, yaitu Ilmu Pengetahuan, Adab, pendapatan, menghilangkan kesedihan, mengagungkan jiwa, dan persahabatan.
* Sungguh aku melihat air yang tergenang membawa bau yang tidak sedap. Jika ia terus mengalir maka air itu akan kelihatan bening dan sehat untuk diminum. Jika engkau biarkan air itu tergenang maka ia akan membusuk.
* Singa hutan dapat menerkam mangsanya, setelah ia meninggalkan sarangnya. Anak panah yang tajam tak akan mengenai sasarannya, jika tidak meninggalkan busurnya.
* Emas bagaikan debu, sebelum ditambang. Pohon cendana yang tetancap ditempatnya, tak ubah seumpama kayu bakar (kayu api).
* Jika engkau tinggalkan tempat kelahirnmu, engkau akan menemui derajat yang mulia ditempat yang baru, dan engkau bagaikan emas sudah terangkat dari tempatnya.

Imam Madzhab besar itu dengan indah menyampaikan. Bahwa merantau bukanlah sebuah cela atau hal yang menakutkan. Berpindah tempat untuk sebuah tujuan mulya adalah saran menambah pengetahuan, membuka wawasan, saling berkenalan dengan budaya orang lain, mengangungkan jiwa karena serasa mengangkat orang lain sebagai saudara laksana saudara kandung di kampung, dan yang paing indah tentunya, menambah eratnya ikatan silaturahmi…Ada senyum yang berbeda, ada canda yang berbeda, ada khasanah yang baru, dan seribu satu cerita baru yang kan mengalir dalam pena dan buku harian kehidupan kita

Sang Imam besar-pun mengumpamakan perjalan hidup kita ibarat air yang mengalir. Coba kita lihat, kalaulah Air itu mengalir dengan lancer, dia akan mampu menembus segala apa rintangna yang coba menghadangnya. Dia akan senantiasa bersih, jernih dan suci. Lebih dari itu, Air yang mengalir itu mensucikan. Bukankah dalam ajaran Agama kita, kita dianjurkan untuk bersuci dengan Air yang mengalir?? Tapi coba lihat jikalau Air itu menggenang. Meskipun jumlah Air itu banyak, tapi kalau dia tidak mengalir dan terjemur (musyammas), maka hukumnya adalah makruh untuk bersuci dengannya. Air yang diam lama-kelamaan juga akan membusuk, menjadi sarang nyamuk dan sarang penyakit. Dia tidak layak dikonsumsi, bahkan akan membawa mudharat bagi orang yang meminumnya.

Demikian juga kita, jikalau hidup senantiasa dalam pola hidup yang sama sebagaimana di kampung, maka apa yang akan kita dapat? Kita hanya akan terbiasa memahami adat orang sekampung, memahami bahasa orang sekampung, dan tentu akhirnya hanya akan bermanfaat bagi lingkungan kecil dikampung…Padahal pesan Nabi, sebaik-baik manusia adalah yang senantiasa bermanfaat bagi orang banyak..Bisa jadi kita akan merasa benar sendiri, merasa besar sendiri, merasa saleh sendiri, padahal diluar sana, ada yang jauh lebih segalanya dari kita…Segarlah pengetahuan bagi mereka yang sedia merantau…memperbarui adat dan syara’…memahami lebih baik dengan membaca kitabullah…

Coba juga lihatlah Singa di Alam Rimba, kapankah dia kenyang mendapatakan mangsanya?? Apakah ketika dia tidur dan bersantai di sarangnya?? Tentu saja tidak, seekor Singa yang gagah sekalipun harus pergi keluar sarang untuk memburu mangsanya, dan ditakuti warga Rimba lain. Juga coba lihat anak panah itu. Meski setajam apapun dia, sedahsyat apapun sakit yang diakibatkan olehnya. Itu semua baru akan terasa apabila anak panah tersebut sudah meluncur dari Busur-nya menuju sasarannya. Tak kan terasa apa saktinya, jikalau masih terdiam di busurnya…..

Kitalah Singa dan anak panah itu. Sangat sedih melihat banyaknya pengangguran di negeri ini, sedangkan bumi Allah sangatlah luas. Ada milyaran ikan di samudra luas, ada Milyaran bintang di angkasa, ada jutaan hektar sawah tergolek sedih menunggu penggarap, ada milyaran manusia membutuhkan berbagai jasa, menunggu kita seberang sana. Itulah “mangsa” yang layaknya senantiasa kita harus kejar. Itulah sasaran yang kita hendak tuju. Maka lepaskan diri kita dari busur itu, dan terbanglah menembus ruang dan waktu… menembus segala takut dan ragu…berubah laksana ulat menjadi cantiknya kupu-kupu…

Dan yang terakhir, imam syafi’i mengibaratkan kita sebagaimana emas yang bercampur pasir. Tak ada nampa keindahan pada mulanya. Emas baru akan Nampak indah dan mahal, ketika dia terpisah dari debu tambang. Di basuh dan diolah sedemikan rupa sehingga menjadi indah. Pun demikian juga kayu cendana yang amat mahal itu, keindahannya baru akan berbeda ketika dia keluart dari hutan yang membuatnya tertutup oelh pohon lainnya. Cendana akan namapk kokoh dan gemilang ketika dia dibawa keluar dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Kalaulah bukan karena itu, maka cendana itu tak ubahnya seperti kayu bakar yang tak berharga

Coba kita lihat diri kita ini. Siapaah diri kita ini dulu di kampung. Hanya seorang muda yang senang bersenda gurau dengan rekan sesame kita. Lalu cobalah lihat setelah kita merantau. Dengan penambahan ilmu dan budaya kita. Dengan bertambahnya rekan dan saudara kita. Bukankah kita menjadi terasah untuk bisa hidup lebih baik dan sejahtera?? Kitalah ibarat emas dan kayu cendana. Diam ditempat adalah sama artinya membiarkan kandungan keindahan pada diri kita menjadi sebuah nilai yang yang tak berharga…Dan sang Imam mengakhiri nasehatnya…:

Jika engkau tinggalkan tempat kelahirnmu, engkau akan menemui derajat yang mulia ditempat yang baru, dan engkau bagaikan emas sudah terangkat dari tempatnya.

*** Hujan semakin deras mengguyur..Kali ini kulihat mata Istriku berkaca-kaca lalu pelan-pelan meminta izin meminjam bahuku untuk meletakkan kepalanya dengan manja. Aku tak keberatan tentu saja..Lalu tanganya yang lembut memgang tanganku lalu menciumnya dengan penuh cinta…Kemudian dibukanya tanganku, dan diletakkan hape di atasnya…suara merduanya lirih terdengar…

“Ayah…tolong balas sms dari teman Bunda ini ya…Biar hatinya kuat , Jujur, bunda ga bisa ulangi apa yang sudah ayah sampaikan barusan ”

Aku tersenyum…Ya Rahman…semoga kemesraan ini terus terjaga…..

Ada Apa Dengan UNAS??

“Bil Imtihhani Yukramul mar’u aw Yuhaanu”
(Dengan Ujianlah seseorang Akan di Hormati Atau Dihinakan)

Pepatah Arab yang terkenal itu kembali mlintas dibenak saya. Sesaat setelah melihat berita 6000 siswa-siswi SMU disebuah kota di Indonesia berdemonstrasi menuntut dibatalkannya UNAS (Ujian Nasional). Dari sekilas tangkapan kamera, Nampak beberapa tulisan bernada mengecam terpampang di bawa oleh mereka…”UNAS = Kiamat Tiga Hari”…”UNAS membunuh keahlian siswa”…”Jangan Bodohi Rakyat dengan UNAS” ….dan bebarap kalimat lain yang isinya mengcam UNAS.

Sejak awal pelaksanaan, memang UNAS sudah mengundang banyak kontrofersi. Yang paling umum adalah tentang ketidak adilan , bagaimana mungkin siswa-siswi di pelosok Irian Jaya misalnya, yang hidup dengan kondisi sekolah yang pas-pasan, dengan fasilitas apa adanya, dipaksa untuk sama stadatr kelulusannya dengan sekolah faforit di Bilangan ibu kota Jakarta dengan segala fasilitas kemewahan yang ada di dalamnya. Ini yang dianggap tidak adil sebenarnya.

Tapi kalau kita ingat-ngat, bukankah sejak dulu, ujian model ini sudah ada di sekolah-sekolah?? Yang dulu kita kenal dengan nama EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) yang sebenarnya juga menggunakn format yang sama. Lalu kenapa kita sekarang terasa kebingungan, cemas, dan tidak senang atas adanya UNAS??

Jawabannya bisa jadi bermacam-macam. Tapi yang paling nyata adalah, bahwa dengan UNAS, nilai stadart yang ditetapkan secara nasional akan membuat adanya kemungkinan siswa tidak lulus, sesuatu yang entah bagaimana ceritanya, ketika jaman Orde Baru hal itu tidak pernah terdengar. Dan karena tidak lulus itu juga, secara manusiawi banyak siswa yang kecewa dan sedih. Ada yang berlebihan (menurut saya) dengan berteriak-teriak, mengamuk,membakar sekolahan, bahkan ada individu yang bunh diri. Sedangkan bagi lembaga pendidikannya, hal ini memicu adanya usaha-usaha yang “halal” maupun “non halal” untuk dilakukan. Dari mulai mengadakan tambahan pelajaran psca sekolah. Mengadakan try out, kursus bina belajar, sampai yang “non halal” seperti memberitahu jawaban via sms, kebocoran soal, sampe “tim sukses” yang cepat-cepat mengganti jawaban siswa sebelum dimasukkan ke dalam cashing ujian. Semuanya untuk tujuan agar sekolahnya dibilang sukses dengan target 100% siswa lulus ujian.

Melihat segala fenomena itulah, ingatan saya di hentakkan kembali oleh mahfudzat (kata mutiara ) diatas. Menyadarkan kita bahwa selama ini ternyata kita salah menyikapi ujian ini. Ujian yang seharusnya sebagai ajang evaluasi, telah salah arah menjadi (hanya) ajang eksekusi, antara lulus dan tidak lulus. Ujian yang seharusnya menjadi “ritual” pesta prestasi pendidikan telah berubah arah menjadi sekedar mengjar prestise lembaga pendidikan. Kemulyaan Ujian sebagai saringan alami untuk penentuan generasi terbaik telah berubah menjadi ajang penuntasan segala beban pelajaran dan disiplin sekolah dan akan mencapai puncaknya pada perayaan kelulusan yang “kampungan” dan urakan…mengotori baju sekolah dengan cat, mencorat-coret baju dengan spidol, tak peduli laki-laki perempuan, tak tabu saling menyentuh, saling dorong dan peluk (maaf kalau agak fulgar), saling teriak dan setelah itu…keliling kota, ngebut di jalan, trak-trakan, na’udzubillah kalau sampai diteruskan dengan pesta zina dan minuman keras.

Ujian pada hakekatnya mutlak adanya pada lembaga pendidikan. Karena ujian adalah sarana evaluasi kegiatan pendidikan. Apakah materi pelajaran selama ini bisa difahami oleh siswa, apakah metode pengajaran yang diterapkan sudah tepat, adakah kendala pehaman siswa terhadap mata pelajaran , semuanya bisa diketahui dengan melihat hasil ujian. Kesalahnnya menurut saya adalah, dari sekian pelajaran yang ada, dari semua materi ajar yang ada, yang dipelajari bertahun-tahun, yang diujikan dalam UNAS, yang menetukan “hidup mati” siswa hanya 3-5 materi saja , dan materi Agama tidak termasuk..!! Ini yang tidak adil. Semua pelajaran yang seharusnya juga punya hak evaluasi jadi terbuang percuma. Di lembaga pendidikan Agama (baca : Madrasah) hal ini menjadikan siswa tidak serius mendalami materi Agamanya malahan, Karena alasannya satu, tidak ngaruh sama kelulusan sekolah. Lalu kenapa pelajaran sebanyak itu harus diajarkan kalau hak evaluasinya di tiadakan??

Salah pandang yang kedua adalah niat ke sekolah itu sendiri. Kalau sejak awal niat ke sekolah adalah menuntut ilmu, maka kerelaan yang dibangun adalah, tidak akan berhenti belajar sampai ilmu itu dikuasai. Ketika dinyatakan belum menguasai suatu ilmu, maka hasrat besar yang timbul bukanlah sebuah keputusa asaan, tapi adalah sebuah semangat yang lebih berlipat untuk menguasai ilmu itu. Tapi karena sudah salah niat dari awal, dimana tujuan sekolah adalah mencari Ijasah. Kalau sudah dapat Ijasah bisa dapat kerja. Jadi ilmu itu dianggap ga penting. Karena yang dilihat itu ijasah dan bukan ilmunya. Ibaratnya orang berkendara sepeda motor, bisa jadi dia baru bisa naik motor, itu juga “ajut-ajutan”, rambu-rambu ga tahu, tapi kenapa dia bisa naik motor di jalan?? Karena punya SIM, soal mengendara mah ga penting, asal punya SIM. Jadi SIM lebih utama dari kemampuan berkendara itu sendiri….padahal seharusnya, SIM adalah keteranagn yang bisa dipertanggung jawabkan oleh fihak kepolisian yang menyatakan bahwa seseorang itu benar bisa mengendarai kendaraan, tahu rambu-rambu dan telah cukup usia untuk berkendara….Bukan asal “tembak” kan….

Maka seharusnya, ujian bukanlah sesutu yang ditakuti. Ibarat seorang pesilat, ujian adalah masa yang dinantikan karena itu pintu awal untuk naik tingkat kepada yang lebih tinggi. Ibarat tentara, itu adalah pertempuran sebenarnya yang akan menguji naluri tempurnya setelah sekian lama berlatih dan terus berlatih. Ibarat atlet, ini adalah pertandingan sesungguhnya, yang memperebutkan medali yang berharga. Kekalahan bagi peslita dan olahragawan adalah hal biasa. Dan terluka, bahkan kematian bagi seorang tentara adalah resiko. Begitupun kegagakan dalam ujian. Hal ini seharusnya disikapi sebagai bahan evaluasi bahwa ada yang kurang tepat dalam proses pembinaannya. Dan sekolah harusnya terpacu untuk merubah hal ini. Bukan sekedar memberikan secarik kertas tanda kelulusan, tanpa bisa dipertanggung jawabkan.

Bukankah selalu ada soal evaluasi di setiap selesai pembahasan suatu bidang studi?? Bukankah selalu ada Homework yang kita kerjakan diruamh sebagai ajang asah fikir di rumah?? Bukankah selalu ada usaha insentif untuk peningkatan prestasi belajar bebrapa saat menjelang ujian?? Bukankah selalu ada try out, kursus tambahan, jam pelajaran extra, dan puluhan support action lain untuk suksesnya ujian?? Ada puasa senin kamis bersama, tahajud massal, istighosah kubro, sholat duha jamaah, dan lainlaian. Lalu apa yang harus ditakuti dalam ujian?? Bukankah semua usaha sudah dilakukan??

Saya sering membayangkan, bila musim UNAS tiba, maka gempita-nya tidak kalah meriah dengan musim pendaftaran sekolah. Ada baliho besar dengan gambar siswa yang tersenyum siap menghadapi ujian. Atau sedikit “nyeleneh” dengan gambar Rambo misalnya yang sedia membawa senajata, lalu doberi ucapan di bawahnya : “ Saatnya beraksi di UNAS”. Lalu kita temukan di mall atau di toko-toko Buku, banyak ucapan bernada ceria yang mensuport para siswa untuk sukses di UNAS. Tidak ada lagi gambar siswa yang tegang dan sepi dalam baliho ucapan selamat menempuh UNAS itu. Semua bersikap tenang dan sedia. Wajah UNAS dirubah dari menegangkan menjadi begitu ceria. Sebab UNAS bukan sesuatu yang istimewa. Dia hanyalah ujian nasional biasa. Kalau sudah siap, kenapa musti tegang dan penuh nuansa menakutkan?? Sebab, ketakutan hanya berlaku bagi orang yang merasa berdosa dan tidak siap melakukannya…

***

17 Tahun yang lalu….Oky kecil duduk di bangku depan di sebuah gedung pertemuan pesantren yang baru saja di masukinya di tahun pertamanya. Nampak didepannya seorang kyai tersenyum anggun bersiap berpidato dalam rangka tasyakuran penutupan Ujian pesantren yang baru saja selesai…Denga tatapan penuh asuh, sang kyai lalu berkata :

“Anak-anakku sekalian…Sungguh saya bangga dengan kalian semua. Kalian yang masih kecil-kecil, jauh dari orang tua, ada yang kurang sehat, ada yang kurang tidur karena belajar. Tapi kalian semua tidak pernah takut dengan Ujian..Sungguh kalian lebih hebat dari napoleon, dia itu tentara ulung, panglima perkasa, tidak pernah akut dengan mush bagaimanapun kuatnya…tapi tidak pernah mau di uji…karena dia sangat takut dengan ujian….maka sungguh, saya bangga dengan kalian….”

Ah….sudah lama sekali waktu itu berlalu….

Wallahu a’lam….

Belajar Mengumpat Dari Televisi

Coba nyalakan televisi antum di chanel manapun. Lalu cobalah mengitung, berapa kali antum temukan kalimat yang bernada mengumpat dari sekian acaranya. Yah, hari-hari ini kita memang dijejali oleh pemberitaan tentang cacian Luna Maya terhadap “Hamba Tajassus”, para penghamba “mata-mata” dan hamba “ghibah” yang dilaknat oleh Rasulullah yang mencari nafkah dengan jalan mencari-cari kesalahan dan aib orang lain, dana setelah ketemu, bukannya menutupinya, tapi malah menginfokan-nya secara luas dikalangan masyarakat…Na’udzubillah min dzalik…

Saya-pun tak hendak mengurai siapa yang benar dan yang salah dalam masalah ini. Sebab kebenaran di negeri ini sudah amat sangat sumir untuk dibahas. Yang ingin coba saya tuliskan adalah betapa besarnya pengaruh televisi terhadap kebiasaan mengumpat di negeri ini. Betapa banyaknya ungkapan kasar secara verbal dengan lancar mengalir menembus dinding fikiran kita dengan cepat setiap hari berkali-kali. Dan tanpa kita sadari, hal yang seharusnya menjadi aib itu akhirnya menjadi kebiasaan yang kita toleransi sendiri. Pelan tapi pasti, kita telah menjadikannya sebagai “kejahatan” yang bisa dimaklumi, bahkan terkadang malah kita tertawakan.

Infotainment?? Jelas itu biangnya..!! Coba lihat bagaimana mantan suami seorang artis mencela mantan istrinya dan atau sebaliknya. Lalu dibumbui oleh komentar presenternya yang bernada “profokatif” dan membakar. Atau bagaimana seorang ibu secara sangat jelas mencaci maki anaknya sendiri, dan dibalas oleh anaknya sebagai mencari sensasi.Tidak perlu banyak alasan untuk menyebut program satu ini sebagai biang bagi penonton untuk belajar celaan dan umpatan.

Coba geser chanell antum ke siaran berita. Dan simaklah, bagaimana berita demonstrasi, penolakan penggusuran, perkelaihan antar kampung, dan bahkan tentang debat politikus, secara amat sangat fasih mengajari kita bagaiamana mencela dan menghujat orang lain secara “baik dan benar”. Seakan-akan menyebut lawan pilitik sebagai antek syetan adalah syah, menyebut musuh di seberang kampung sebagai binatang adalah wajar, dan sebagai bentuk ungkapan kekesalan, menyebut orang lain sebagai keuturunan iblis adalah hal yang mafhum. Ironi bukan?? Jadi bukan Cuma infotainment saja yang mengajarkan ungkapan mengumpat seperti itu

Bosan dengan kekesalan di stasiun berita kita?? Coba chanel olah raga, dan kembali simak perhelatan siaran langusung sepak bola di tv. Daintara suara heroic sang komentator, pernah kah antum mencoba mencuri dengar teriakan penonton yang memenuhi stadion?? Kalau telinga antum jeli, akan antum dengar alunan lagu pendukung semanagat tim kesayangannya, yang kembali diselingi umpatan kepada tim lawan atau wasit….”tim per****** di bunuh sajaa…”, “ wasiiit…g****k!!”, dan banyak lagi ungkapan yang lain membahana di seantero stadion. Tak sebanding memang kalau membadingkan supporter kita dengan tifosi di liga Italy misalnya, atau supporter di Primier League yang menyaksikan sepak bola laksana melihat konser music klasik. Tenang, responsive, bertepuk tangan bila ada peluang, dan –paling banter- berteriak emosional sesaat bila pemain timnya dikasari lawan. Tapi paling tidak, bisakah supporter kita paling tidak mengurangi sedikit saja untuk tidak menghina atau melecehkan tim lain. Karena sesungguhnya…” Musuh Yang Pandai Itu Lebih baik daripada Kawan Yang Bodoh”

Mau coba lihat film kartun?? Pernah menyimak sinchan yang dengan lancar menyebut kalimat “bodoh”, “kurang ajar”, “banci” dan umpatan lain?? Atau SpongeBob yang juga sangat biasa mengucap “tolol”, “dasar makhluk berlendir yang kotor”, “aku membencimu”, dan masih banyak lagi?? Sangat tidak aman bagi super memory anak-anak kita. Dan coba perhatikanlah perubahan perilaku anak-anak kita sesaat setelah menyaksikan film tersebut. Nampak jadi lebih agresif bukan?? Baik kata-katanya maupun tindakannya??

Lalu hiburan apa yang bisa kita nikmati tanpa kalimat celaan dan hinaan kepada orang lain?? Acara komedi?? Wah apalagi ini, kalau mau jujur sih, terkadang celaan dan hinaan itu malah membuat kita terkekeh-kekeh…Antum semua tentu pernah tersenyum terbahak-bahak ketika mendengar si Sule memanggil Aziz Gagap dengan…”eh Jamblang..” Atau “eh taplak meja…” dan kata-kata “lucu” lainnya..Komedi satir yang seharusnya mempertontonkan komedi cerdas malah sekarang justru kembali ke Jalur Komedi lama yang mengumbar celaan fisik kepada lawan mainnya..Atau mau lihat sinetron?? Drama kehidupan yang menceriterakan kisah cinta negeri antah berantah (karena pemainnya kaya-kaya semua dan kisahnya banyak yang ga masuk akal sama sekali) kita perlu tutp telinga rapat-rapat untuk tidak usah mendengar bagaimana ada saling cela dan hina dengan bahasa yang benar-benar fulgar…kalimat “b******n”..” bedebah”…” kutampar kamu…!!!” (masa ada nampar orang bilang2??, keburu lari tuh orangnya) lalu lalang dari lisan para pelaku seni peran itu….Jadi hiburan apa yang kita dapatkan dari semua cerita sumir itu???

Para khalayak pekerja seni dan “wartawan” infotainment (sengaja saya pakai tanda kutip, karena saya tidak setuju pelaku Infotainment disebut waratawan) mengatakan bahwa tujuan orang menonton televisi adalah mencari hiburan, dan bukan pendidikan. Jadi kalau mau cari acara yang mendidik, ya di sekolahan dong, bukan ditelevisi. Deemikian senantiasa alasan yang dikemukakan oleh para pelaku seni dan komunitas kaum “seniman” kapitalis yang terlibat di dalamnya. Mereka mungkin lupa, bahwa sehebat apapun teori di sekolah mengajarkan budi pekerti dan ilmu pengetahuan selama 8 jam di sekolah, tapi dalam hitungan menit semua itu akan hancur diterjang tsunami siaran kotak segi emapat bernama televisi.

Alasan kedua yang sering diapakai oleh mereka adalah, “masyarakat banyak yang mau, secara hukum ekonomi, ya sah-sah saja kalau acara-acara it uterus ada”..Walah, ini malah alasan yang bener-bener diada-adakan. Masyarakat itu kalau boleh jujur, bukan karena suka melihat acara-acara ghibah dan maksiat seperti itu, tapi karena ga ada pilihan. Semua televisi seakan sepakat untuk memutar hal yang sama meskipun dengan “baju” yang berbeda-beda. Masyaraka sebenarnya sudah betul betul muak dengan segala acara samapah yang hadir di televisi. Tapi mau bagaimana lagi, tidak ada pilihan acara lain yang menarik diantara semua statsiun TV yang ada. Jadi mau tidak mau ya mereka menonton semua acara sampah itu. Buktinya, sinetron “Para pencari Tuhan” dan “kiamat sudah dekat” mencapai TOP Rank, meskipun diputar diwaktu yang sangat-sangat “Abnormal”,yaitu ketika sahur, dini hari. Sangat melawan arus, karena hamper semua stasiun TV menayangkan acara komedi konyol dan kuis tak bermutu (pertanyaannya terlalu mudah, bahkan kadang2 jawabannya sengaja diberitahukan) .

Sintron besutan Dedy Mizwar itu seakan mengobati kerinduan masyarakat terhadap tontonan yang sekaligus tuntunan. Tontonan yang bermutu. Jalan ceritanya sederhana, pemainnya alami ga dibuat-buat, kalau memang acting wajah jelek ya jelek (ga seperti sinetron umunya, masak adegan bangun tidur masih mau wajah cakep), dialognya urban banget, ga lebay, dan factual, ini yang penting, masyarakat bisa mencontoh, kalau mau kaya, kyai sekalipun musti kerja (di sebagaian sinetron kyai Cuma bawa tasbih, keliling kampung sambil nunggu “Rahasia Ilahi”), bahwa orang bisa bahagia meskipun tanpa mobil, blackberry, atau rumah mewah, bahwa orang bisa mengungkapkan kebenciannya tanpa perlu mengumpat, menghujat, manghafalkan nama penghuni Ragunan, bahwa cinta kepada lawan jenis bisa di visualkan tanpa harus memperlihatakan adegan berpelukan, bermesraan atau bergandengan tangan, dan bahwa dakwah agama itu tidak perlu kaku dengan kekerasan dan atau seribu jam pidato pengajian, cukup visualkan saja, bahwa hidup bisa sangat indah dan bermakna dengan keptuhan total kepada Allah dan ketulusan menunut ilmu tanpa henti, kapanpun, dimanapun, dan kepada siapapun…

Tak henti rasanya hati ini berharap, dan tangan ini meminta kepada penguasa jagad raya…Semoga Islamic Broadcasting Network segera ada dan menjadi nyata, agar kelak menonton televisi, sama pahalanya dengan mengaji, shaum sunnah, dan menebar kasih saying kepada sesama

Wallahu a’lam

sakinah aja dulu...

“Anakku, wong dadi manten kuwi pancen isine mung seneng. Nanging ojo ngasi sliramu malah seneng dadi manten”

(Anakku, orang menikah itu memang isinya cuma senang. Tapi jangan sampai kamu senang /hobi menikah)

Itulah petuah kakek tiga tahun yang lalu, di malam resepsi pernikahan saya. Sederhana sekali, bahkan sebagian hadirin jadi tersenyum mendengarnya. Lalu setelah mengarungi bahtera rumah tangga hampir 3 tahun lamanya, nasehat itu terasa mengena sekali saat ini.
Bukan karena adanya keinginan untuk “seneng dadi manten”. Tapi adalah sebuah kenyataan bahwa memang memelihara sebuah pernikahan itu tidak semudah yang terlihat orang. Ibarat gunung, pernikahan itu sepertinya halus dan mulus bila terlihat dari jauh, tapi ternyata cukup terjal dan berliku ketika kita mendekatinya dan atau bahkan mendakinya.

Bagi anda yang sudah menikah, coba buka lagi undangan yang dulu disebarkan. Jika sudah hilang, coba ingat-ingat lagi ayat Al Quran apa yang tercantum sebagai sebuah kelaziman dalam sebuah undangan pernikahan? Saya yakin semua menjawab serempak, Ar-Rum ayat 21.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasanNya ialah diciptakanNya untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri supaya kamu mendapat ketenangan hati dan dijadikanNya kasih sayang di antara kamu. Sesungguhnya yang demikian menjadi tanda-tanda kebesaranNya bagi orang-orang yang berpikir”.

Betapa indahnya Allah memberi contoh kecil dari sekian tanda-tanda kekuasaanNya yang tersebar di seantero jagad raya. Allah telah menciptakan pasangan bagi masing-masing kita, dengan tujuan utama adalah litaskunuu atau mendapat ketenangan hati, ketentraman jiwa dan kesucian ruhani. Barulah tujuan kedua adalah terciptanya cinta dan kasih sayang di antara kita dan pasangan.

Ayat di atas itulah yang dijadikan landasan doa yang umum diucapkan kepada pengantin baru, “Semoga menjadi keluarga yang sakinah (tenang, tenteram), mawaddah (penuh cinta), warahmah ( penuh kasih sayang)”.

Kita yang sudah menikah sungguh ikhlas mengaminkan doa indah itu dalam hati. Tapi pernahkah kita mencoba berpikir sejenak, mengapa Allah meletakkan ketenangan dan ketenteraman hati sebagai tujuan utama menikah, baru kemudian adanya cinta dan kasih sayang di posisi kedua dan ketiga? Sehingga adanya cinta sejati seharusnya tumbuh setelah menikah dan bukan cinta berkalang nafsu sebelum menikah?

Sahabat Pejuang,

Allah adalah zat pemilik segala cinta. Dialah muara segala rindu. Allah jualah penguasa jiwa dan sayang di setiap hati kita. KepadaNya lah cinta sejati akan ditambatkan. Kepada Allahlah Rindu menggebu hendak terlabuhkan. Pernahkah antum merasa bahwa surat cintaNya begitu indah menyapa kita? Coba anda buka mushaf dan baca AyatNya yang pertama. Surat cinta yang berbalut Rindu mengharu biru itu Allah mulai dengan “BISMILLAHI AR-RAHMAN AR-RAHIM” (Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang)

Subhanallah, di antara 99 asmaNya yang agung, Allah telah memilih Ar-Rahman dan Ar-Rahiem sebagai pembuka surat cintaNya. Dua nama yang berhubungan dengan cinta. Betapa indah sapaan pertamaNya kepada kita. Allah sangat tahu, bahwa salah satu software yang dominan menguasai diri manusia adalah cinta. Maka, Dia memperkenalkan diri-Nya sebagai zat yang maha mencinta. Dan pada surat Ar-Rum di atas, Allah menjadikan pernikahan sebagai salah satu bukti kuasaNya atas cinta itu.

Pernikahan. Yah, prosesi sakral itu dimulai dengan akad nikah, sebuah penyampaian tantangan dari wali mempelai puteri kepada mempelai pria untuk alih tanggung jawab dalam mengasuh calon mempelai puteri. Kemudian hal itu disambut dengan ungkapan kesanggupan mempelai pria untuk menerima tantangan tersebut dengan menyiapkan mas kawin / mahar sebagai jawaban pertamanya.

Simpel memang. Tapi Islam menganggap hal itu sebagai sebuah prosesi yang sakral sekali. Agama menyebut peristiwa itu sebagai Mitsaqan Ghalidza (ikatan yang kokoh/kuat), dimana dalam sejarah umat manusia, ikatan itu hanya terjadi dua kali. Pertama ketika Nabi Musa menerima “Ten Commandements” dari Allah di lembah Tuwa, dan yang kedua adalah ketika akad nikah diucapkan oleh sepasang pengantin. MasyaAllah, prosesi sederhana nan simple itu dinilai sederajat dengan perjanjian Allah dan Nabi Musa.

Sungguh sebuah ikatan perjanjian yang kokoh. Jangan sampai dilanggar, jangan sampai terkhianati, sebab dari ikatan kokoh nan suci itulah, hal yang sebelumnya haram menjadi halal bahkan wajib. Yang sebelumnya berdosa menjadi berpahala. Dan yang sebelumnya dilarang sekarang diizinkan, bahkan diiringi dengan dengan untaian doa.

Lalu apakah berhenti sampai disitu? Ah, tentu saja tidak. Itu barulah awal mulanya. Selanjutnya, tentu saja perjuangan yang sesungguhnya. Hidup baru yang sesungguhnya, dan tak lagi menjadi raha semalam. Menikah pada hakekatnya bukanlah sekedar menyatukan dua hati anak manusia dalam mahligai rumah tangga. Tapi lebih dari itu, pernikahan adalah sinergi dua keluarga. Pernikahan adalah penyatuan dua hati, dua keluarga, dua budaya berbeda dan dua sifat yang tiada sama..Maka disinilah hikmah kenapa Allah meletakkan “sakinah” terlebih dahulu daripada “mawaddah wa rahmah”.

Sakinah adalah ketentraman. Sakinah adalah ketengan hati. Dan itulah tujuan utama pernikahan. Dua mempelai yang memiliki karakter berbeda, dan dari dua keluarga dengan adat dan budaya yang berbeda. Tentu perlu waktu untuk bisa saling memahami dan mengisi. Akan banyak kelemahan yang nampak dari masing-masing pasangannya setelah menikah. Segala kelebihan yang terlihat sebelum menikah, bisa jadi berganti dengan kebiasaan aslinya yang mungkin kurang berkenan.

Tentu saja, siapa sih yang mau tampil seadanya di depan calon suami/istrinya? Nah, sang suami mungkin bisa menerima kelemahan isterinya dan begitupun sebaliknya. Namun bagaimana dengan keluarga masing-masing? Bisakah juga menerima perbedaan budaya, tradisi dan kebiasaan itu?

Di sinilah perlu adanya kearifan untuk membangun keluarga sakinah itu. Al Quran dengan sangat indah menegaskan bahwa istri adalah pakaian dari suami dan demikian pula sebaliknya. Fungsi utama pakaian adalah menutup aurat yang mengartikan bahwa setiap suami adalah penutup aib istrinya dan seorang istri adalah penutup aib suaminya. Pantang bagi seorang suami/istri membuka aib pasangannya di depan orang lain, meskipun itu di depan keluarganya sendiri, sambil terus memperkenalkan adat dan budaya masing-masing untuk bisa saling mengerti dan memahami. Sehingga biarlah kesalah fahaman hanya milik berdua, asal keluarga masing-masing jangan sampai tahu. Karena memang begitulah yang diminta Allah, sebagai penutup aurat pasangan masing-masing.

Nah, fungsi pakaian yang kedua adalah sebagai hiasan. Memaknai bahwa sepasang pengantin adalah pantulan kepantasan pasangannya. Kalaulah istri senantiasa nampak gembira di mata keluarga dan tetangganya. Bukankah orang akan beranggapan bahwa keluarga itu adalah keluraga yang bahagia? Dan bukankah itu bisa menjadi doa buat kita? Maka hiasilah pasangan kita. Biarkanlah dia nampak cantik/tampan di mata keluarga. Sampaikanlah segala kebaikan dan sifat mulianya, dan tutuplah rapat-rapat segala aibnya. Itulah rintisan awal keluarga sakinah yang sesungguhnya.

Jika sakinah sudah berwujud.
Maka cintapun pasti akan ikut. Bagaimana tidak? Setiap hari bertemu pandang, saling tersenyum dan menyapa riang, bertegur sapa dan saling menyayang, saling menutup aib dan mendendangkan keindahan. Saling memuji dan mengingatkan. Saling membantu dan memudahkan. Lalu apa alasan cinta tak tumbuh laksana cendawan di musim hujan? Dan inilah cinta yang menenteramkan. Cinta yang melanggengkan pernikahan. Cinta yang senantiasa mengantar setiap detik nafas dalam edaran darah menyatu padu dalam beningnya nuansa syahdu sucinya kalbu. Bersama dalam semangat tak jeda, dalam perjalanan menapak bumi, meniti jalan, menggapai dunia.

Dan kalaulah cinta sudah terbina, maka kelak kasih sayang juga akan senantiasa terjaga.
Kasih sayang tidak akan bicara lagi cantiknya paras dan indahnya busana. Kasih sayang hanyalah melihat kebaikan dan kesetiaan semata. Sakinahlah yang membentuk, lalu cinta yang membina, dan kasih sayangpun akan mekar dengan indahnya. Seorang lelaki boleh saja mengalami puber kedua. Dia boleh merasa kembali muda, tapi pandanganya tidak akan pernah lengah dari istri tercinta. Bahkan jikalau ada yang sekalipun yang menggoda, hatinya akan kokoh terjaga. Dia sambil tersenyum akan berkata, “ Sekarang aku sudah memiliki harta, tentu banyak yang memuji dan banyak yang mau lagi menjadi istriku yang kedua atau ketiga. Tapi siapakah dulu yang mendampingku ketika aku tak punya apa-apa? Siapakah yang memberi semangat padaku ketika ada masalah di tempat kerja? Siapakah yang setia mengasuh buah hatiku ketika aku sedang sibuk bekerja? Siapakah yang rela menungguku pulang malam di samping pintu dan tetap menyiapkan hidangan bahkan ketika keletihan badanku menderita? Ah, jika jawabannya adalah istriku yang tercinta, lalu apa alasanku menduakan cintanya?”.

Subhanallah, indah nian Tuhan mengatur cintaNya, menebarkannya di setiap relung hati umatNya dan memberi petunjuk bagaimana memelihara untaian ayat-ayat cintaNya.
Semoga kita bisa meletakkan cinta mulia itu di setiap nyala dan di hati kita. Menggapai sakinah, memetik mawaddah, dalam senandung indah nada-nada rindu penuh Rahmah.

Wallahu a’lam bis shawab

 

W3C Validations

Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Morbi dapibus dolor sit amet metus suscipit iaculis. Quisque at nulla eu elit adipiscing tempor.

Usage Policies