WEB BLOG
this site the web

Jadilah Ulama Yang Intelek Bukan Intelek yang tahu Agama

Selalu menyenangkan bila tiba saatnya saya pulang kampong ke Ponorogo. Menghirup segarnya suka cita keluarga dan hangatnya keramahan masyarakat agraris yang guyub rukun dan bersahaja. Tak lupa untuk selalu menghadirkan kerenyahan canda khas Jawa Timur-an yang terkadang agak kasar, nyelekit, tapi tetap saja berakhir dengan tawa. Tak kalah hangat dan nikmat dengan menikmati sebungkus nasi pecel hangat dengan sayuran segar dan sambel kacang yang mlekoh (melimpah) dengan lauk sederhana dan “special order” yaitu iwak kali (ikan sungai). Kecil-kecil bentuknya, tapi gurihnya benar-benar tak terlupakan.

Tapi yang tidak boleh terlewat adalah, tentu saja mengunjungi almamater tercinta di selatan kota Ponorogo. Setelah sejenak beristirahat di warung dawet Jabung yang legendaries itu. Yang dari masa ke masa tak pernah hilang kesegaran alaminya, karena menggunakan santan segar, cendol fresh, dan pemanis dari legen (Air Manis dari pohon kelapa sebelum dijadikan gula). Saya meneruskan langkah ke gerbang Pesantren Modern yang sudah berusia hampir satu abad itu. Gapura besar menyambut kedatangan saya dengan tulisan yang indah : Selamat datang Di Pondok Modern Gontor.
Sejenak langkahku terhenti. Bukan oleh sambutan selamat datang itu, tapi tulisan sesudahnya yang tertempel di dinding asrama santri. Tulisan itu sederhana saja : “JADILAH ULAMA YANG INTELEK, BUKAN INTELEK YANG TAHU AGAMA” . Ini adalah petikan nasehat dan pesan Almarhum Kyai pendiri Pondok Pesatren ini. Tulisan pendek yang secara reflek membawa ingatan saya di medio pertengahan tahun 90-an. Ketika pertama kali menginjakkan kaki dan diterima belajar di pesantren ini. Sosok Enerjik, Tegas, dan visioner khas beliau berkelebat membayang di angan saya.

Teringat kembali bagaimana kyai kami itu menuturkan bagaimana pesantren ini dulu berdiri. Dimana gagasan untuk membangun Pesantren Baru dan gambaran tentang bentuk pendidikan dan lulusannya diilhami oleh peristiwa dalam Konggres Ummat Islam Indonesia di Surabaya pada pertengahan tahun 1926. Kongres itu dihadiri oleh tokoh-tokoh ummat Islam Indonesia, misalnya H.O.S.Cokroaminoto, Kyai Mas Mansur, H. Agus Salim, AM. Sangaji, Usman Amin, dan lain-lain.

Dalam kongres tersebut diputuskan bahwa ummat Islam Indonesia akan mengutus wakilnya ke Muktamar Islam se-Dunia yang akan diselenggarakan di Makkah. Tetapi timbul masalah tentang siapa yang akan menjadi utusan. Padahal utusan yang akan dikirim ke Muktamar tersebut harus mahir sekurang-kurangnnya dalam bahasa Arab dan Inggris. Dari peserta kongres tersebut tak seorang pun yang menguasai dua bahasa tersebut dengan baik. Akhirnya dipilih dua orang utusan, yaitu H.O.S. Cokroaminoto yang mahir berbahasa Inggris dan K.H. Mas Mansur yang menguasai bahasa Arab. Peristiwa ini mengilhami Pak Sahal yang hadir sebagai peserta konggres tersebut akan perlunya mencetak tokoh-tokoh yang memiliki kriteria di atas .

Kesan-kesan Almarhum Kyai Ahmad Sahal (Salah satu Kyai Pendiri Pondok Modern Gontor) dari kongres itu menjadi topik pembicaraan dan merupakan masukan pemikiran yang sangat berharga bagi bentuk dan ciri lembaga yang akan dibina di kemudian hari . Beliau menggumam dalam hati, “Masa diantara ribuan umat Islam yang hadir di sini, tidak seorangpun yang mampu berbahasa Arab dan Inggris sekaligus dengan baik??”
Selain itu, situasi masyarakat dan lembaga pendidikan di tanah air saat itu juga mengilhami timbulnya ide-ide para pendiri. Banyak sekolah yang dibina oleh zending-zending Non Muslim yang berasal dari Barat mengalami kemajuan yang sangat pesat; guru-guru yang pandai dan cakap dalam penguasaan materi dan metodologi pengajaran serta penguasaan ilmu jiwa dan ilmu kemasyarakatan. Sementara itu, lembaga pendidikan Islam belum mampu menyamai kemajuan mereka. Diantara sebab ketidakmampuan itu adalah kurangnya pendidikan Islam yang dapat mencetak guru-guru Muslim yang cakap, berilmu luas dan ikhlas dalam bekerja serta memiliki tanggung jawab untuk memajukan masyarakat.

Dari sisi lain, lembaga-lembaga pendidikan yang ada pada saat itu sangat timpang, satu lembaga pendidikan memberikan pelajaran umum saja dan mengabaikan pelajaran-pelajaran agama, lembaga-lembaga pendidikan lain hanya mengajarkan ilmu agama dan mengesampingkan pelajaran umum. Padahal keduanya adalah ilmu Islam dan sangat diperlukan oleh ummat Islam. Maka pondok pesantren yang akan dikembangkan itu harus memperhatikan hal ini .

Disamping itu tidak dapat disangkal bahwa ummat Islam Indonesia, juga ummat Islam di seluruh dunia, terbagi ke dalam berbagai suku, bangsa, negara, dan bahasa; mereka juga terbagi ke dalam aliran-aliran paham agama; mereka juga terbagi-bagi ke dalam kelompok-kelompok organisasi dan gerakan baik dalam bidang politik, sosial, dakwah, ekonomi, maupun yang lain. Kenyataan ini menunjukkan adanya faktor pengkategori yang beragam. Tetapi, harus tetap disadari bahwa kategori-kategori tersebut tidak bersifat mutlak. Karena itu, semua dasar klasifikasi tersebut tidak boleh dijadikan dasar pengkotak-kotakan ummat yang menjurus kepada timbulnya pertentangan dan perpecahan di antara mereka. Maka lembaga pendidikan harus berusaha menanamkan kesadaran mengenai hal ini, serta mengajarkan bahwa faktor pengkategori yang sebenarnya adalah Islam itu sendiri; ummat Islam seluruhnya adalah bersaudara dalam satu ukhuwwah diniyyah.

Para pembaca yang budiman….

Bagi saya pribadi, sungguh nasehat beliau diatas sangat inspriratif. Melihat berbagai permasalahn social yang terjadi di Negara kita nan indah ini. Cita-cita beliau untuk mencetak kader ulama yang intelek dan bukan sekedar intelektual yang tahu agama sungguh mengena.

Kata Ulama dari segi bahasa adalah bentuk jamak (plural) dari Alim yang berarti orang yang berilmu dari berbagai disiplin pendidikan. Dokter adalah ulama, Insinyur adalah ulama, Profesor Fisika adalah Ualama, dan yang lain.Tapi dalam kosakat bahasa Indonesia, kalimat ini mengalami penyempitan makna, sehingga kesannya, Ulama hanyalah orang-orang yang menguasai ilmu Agama saja.

Memang, sejak datangnya jaman penjajahan di negeri ini. Dikotomi antara ilmu Agama dan ilmu umum sengaja diciptakan oleh mereka. Selanjutnya diberikanlah kesan bahwa ilmu Agama hanyalah ilmu “kelas dua” yang hanya berhubungan dengan akhirat, dan sama sekali tidak berkaitan dengan dunia. Lalu mulailah propaganda penjajah untuk menjauhkan Agama dari kehidupan umat ini dimulai. Mereka mendirikan sekolah-sekolah milik mereka, dan hanya lulusan dari sekolah itulah yang diterima sebagai pegawai pemerintah saat itu. Kemudian dia munculkan pula dikotomi lain dari penamaannya. Dimana sekolah-sekolah umum disebuh “SEKOLAH” sedangkan sekolah agama disebut “MADRASAH” padahal kedua makna itu adalah sama dan sebangun secara bahasa. Orang yang bersekolah di sekolah Umum membaca BUKU sedangkan yang di madarasah mempelajari KITAB. Maka jadilah lulusan madarasah disebut Ulama sedangkan Lulusan SEKOLAH disebut Sarjana atau ilmuwan.

Para pembaca sekalian…

Sesungguhnya tidak ada perbedaan itu. Fikih adalah ilmu umum, karena dengan itu kita seharusnya bermuammalah, matematika adalah juga ilmu agama, karena dengan itu kita tahu perhitungan tahun untuk penentuan waktu ibadah kita. Bukankah ulama ulama kita jaman dulu adalah bukan sekedar para Faqih dan Mufti hebat, tapi juga ahli astronomi dan ekonomi yang dahsyat?? Bukankah Imam Syafi’I adalah juga seorang matematikawan?? Bukankah Abu yusuf adalah qadi syariaah Khalifah Abasiyah sekaligus penasehat ekonominya?? Bukankah ibnu sina adalah seorang Faqih tauladan yang juga ahli kedokteran??

Justru dikotomi itulah yang sudah menjebak kita selama ini. Sehingga sarjana sastra seakan-akan “tidak sah” untuk tahu ekonomi, sebagaimana sarjana tarbiyah atau ushuludin tidak akan bisa melamar kerja di dunia perbankan. Yang lebih parah lagi, dikotomi itu memunculkan idiom bahwa agama itu adalah Arab an Umum itu identik dengan bahsa Inggris. Jadinya, untuk membuat sesuatu itu “islamy” sangat mudah, tinggal mengganti istilahnya saja menjadi Arab. Contoh saja istilah “gaul” anak muda sekarang : “Ah, kita tidak sedang Pacaran kok, kita kan ta’arufan, halal kan….??”

Saya sering tersenyum mendengarnya….

Sedikit agak masygul hati ini, ketika banyak sekali orang berbondong-bondong memenuhi majlis dzikir, berbondong-bondong ibadah umroh berkali-kali dalam setahun.Tapi di bidang muammalah hanya segelintir orang yang bergerak.Laboratorium pengetahuan justru banyak diisi oleh umat lain.Majlis-majlis ekonomi justru banyak dipenuhi oelh golongan lain.Disatu sisi banyak ilmuwan kita yang menjerit meminta dana penelitian bagi perkembangan pengetahuan.Tapi disisi lain, ada orang yang rela terbang dari ujung Indonesia, menghabiskan biaya berpulu-pulu juta, hanya untuk dapat air celupan batu petir yang entah bagaimana bisa dipercaya menyembuhkan.

Seakan-akan Allah hanya hadir di majlis dzikir, malaikat hanya berdoa di seputar masjid, dan bidadari hanya menunggu muslim yang haji berkali-kali.Padahal Allah ada dimana-mana.Allah ada di laboratorium pengetahuan, Malaikat juga banyak berdoa di ruang-ruang kuliah sebagai majlis Ilmu, dan bidadari juga banyak menunggu para syuhada yang gugur dalam tumpukan catatan penemuannya yang berguna bagi umat manusia dan alam semesta..Ah semoga saya, anda, dan kita semua bisa menjadi Ulama yang intelek itu, kalau toh belum bisa, semoga anak-anak kita kelak bisa menjadi bukan sekedar Inetelek yang tahu Agama…

Wallahua’lam….
 

W3C Validations

Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Morbi dapibus dolor sit amet metus suscipit iaculis. Quisque at nulla eu elit adipiscing tempor.

Usage Policies