WEB BLOG
this site the web

Terima Kasih Maxima Picture

Terima kasih kepada Maxima Interprise, Production House yang memproduksi film-film berlatar horror dan mengumbar sexualitas. Terima kasih kepada segenap Production House lainnya yang dengan semangat yang sama dengan Maxima picture telah menunjukkan kepada dunia, bahwa di Negara inilah anda bisa bebas menikmati rasa bebas merdeka mengumbar nafsu anda.

Terima kasih kepada segenap tokoh, pemeran utama, pemeran pembantu, ataupun sekedar figuran film yang aktif menjajakan sexualitas yang dengan amat sangat fasih dan bangga mereka sebut dengan seni. Terima kasih juga kepada segenap pengamat social dan pengagung kebebasan yang telah begitu intens menyuarakan penolakan terhadap fatwa cekal MUI tentang beredarny beberapa film “panas” itu. Dan tentu saja, terima kasih yang tak terlupa kepada Lembaga Sensor Film yang juga telah member cap lolos sensor kepada segenap film tersebut.

Anda mungkin bertanya, apa saya serius berterima kasih?? Apa ini sekedar lelucon saja?? Lalu kenapa tidak memakai tanda kutip diantara kata TERIMA KASIH diatas?? Jawabbnya adalah, YA saya serius berterima kasih. Sangat serius malah. Ini adalah wujud kebahagiaan saya dan rasa syukur yang luar biasa atas segala apa yang sudah mereka lakukan tadi. Sungguh, saya betul-betul menunggu moment seperti ini. Dan saya sungguh berharap, akan banyak lagi film-film sejenis yang akan diproduksi.

Lalu kenapa saya harus berterima kasih?? Ya sebab kalau boleh dikatakan sebagai de javu, maka inilah yang terjadi di awal tahun 90an. Saat awal dimana Perfilman Indonesia sekarat untuk kemudian mati suri bertahun-tahun. Inilah gejala awal kematian tragis itu akan terulang lagi. Disaat kreatifitas dinilai dari keberanian beradegan fulgar dan panas. Disaat sifat naluariah dasar manusia yang terdiri dari puluhan impuls emosi hanya ditarik ke sebelah sisi saja, yaitu nafsu sexual dan Ketakutan.Diwaktu ketika romantisme yang biasanya dibungkus indah dalm sebuah kemasan cerita jadi begitu hina dan menjijikkan karena disajikan tanpa etika dan estetika. Dimasa ketika –bahkan- digratiskan sekalipun orang tidak mau lagi melihat film-film Indonesia.

Lalu kenapa saya harus berterima kasih?? Karena kalau film Indonesia benar-benar (kembali) mati suri, maka itu artinya segala “kebodohan” ini akan terhenti dengan sendirinya. Tidak akan ada lagi artis-artis instant yang saking pengen bekennya sehingga harus “menjual diri” didepan kamera. Tidak ada lagi Produser konyol yang dengan tersenyum menyatakan bahwa tujuan bikin film memang untuk hiburan, jadi jangan mengharap ada unsur pendidikan di dalamnya. Tidak akan ada lagi sutradara “kemain sore” yang dengan marah mengajak MUI dan segenap ormas anti maksiat untuk menonton film Busuknya dengan alasan biar bisa menilai dimana unsur pornonya.

Lalu kenapa saya harus berterima kasih?? Karena bisa jadi memang tidak ada lagi film-film bermutu yang tersaji di Negara ini. Bisa jadi Film-Film semacam Ayat-Ayat Cinta, Naga Bonar, Lasykar Pelangi, Kiamat Sudah Dekat, dan Film-Film bermutu lainnya juga akan mati. Tapi itu lebih baik daripada membiarkan kebebasan berexpresi ini menimbulkan juga kebebasan merusak dan menodai. Ambilah misalnya, ketika Film AAC diputar, memang banyak penontonnya, banyak yang tersentuh dan terinspirasi, tapi berapa persen yang kemudian merubah mind set-nya karena nya?? Lalu coba bandingkan dengan penonton Film “Suster Keramas” Misalnya, anda tidak perlu bertanya berapa orang yang terpengaruh dan berubah pola fikirnya setelah menonton film itu, karena saya berani jamin, paling sedikit mereka ingin bermaksiat setelah itu, atau paling tidak akan penasaran dan lalu ingin melihat yang “lebih” dari adegan di film itu. Jadi kalau hanya ada dua opsi, bukankah lebih baik dilarang ibadah dan dilarang maksiat, daripada boleh ibadah dan boleh maksiat sekaligus??

Lalu kenapa saya kembali harus berterima kasih?? Karena dengan matinya (kembali) film nasional, maka orang akan kembali melihat pertunjukan theater, ketoprak, wayang orang, dan sejenisnya. Pertunjukan panggung yang secara estetika jauh lebih bisa disebut karya seni. Karena coba lihat pelakon panggungnya, begitu dahsyat menghayati perannya tanpa pernah takut di cap jelek atau kotor. Mereka yang memerankan tokoh atau karakter tertentu terlihat bisa menampilkan secara utuh apa yang ditampilkannya. Kalau harus berlumuran lumpur ya berlumur lumpur. Kalau harus bersimbah darah ya bersimbah darah, kotor ya harus kotor, jelek ya acting jelek. Tidak seperti artis instan jaman sekarang. Tidak mau terlihat kotor dan jelek didepan kamera. Bangun tidur masih pengen terlihat cantik, kecelakaan masih penegn kelihatan cantik, habis guling-guling di pasir, masih juga tidak mau kotor. Sesak dada ini melihat acting “amatiran” mereka itu. Beda jauh sejauh jauhnya dengan permainan peran artis kita jaman dahulu. Roy Marten, Rano Karno, Dedy Mizwar, Cristin Hakim, dan yang lain. Jelas berbeda. Karena mereka lahir dari dunia teater lalu ke layar lebar. Sedangkan artis-artis “instant” lahir dari panggung catwalk yang notabene menjual wajah memang. Jadi ya jangan berharap bisa bermain optimal dengan hanya kemampuannya belajar acting dari “jalan kucing” di panggung.

Sekali lagi kenapa saya harus berterima kasih? Karena hanya dengan kematian “alami” itulah kesombongan kapitalis pornografi terselubung itu akan terbungkam. Sebab saat ini, Majlis Ulama Indonesia, Ulama NU, Muhammadiyah, FPI, bahkan Depkominfo yang dipimpin oleh mantan presiden partai Islam sekalipun belum mampu menghentikan “kedigjayaan” kaum borjuis maksiat tersebut. Mereka baru akan “terbunuh” dengan sendirinya kalau pasar sudah mual dengan segala pornografi setengah-setengah yang mereka jual. Karena kekuatan pasar ituah yang senantiasa mereka dengung-dengungkan untuk melegitimasi segala bentuk kebodohan yang selama ini meeka lakukan.
So, betapa pantasnya saya berterima kasih kepada industri Film Syahwat itu bukan?? Mereka yang begitu berani menyatakan bahwa menghalangi kebebasan mereka sama saja dengan menghambat kreatifitas anak negeri. Seakan mereka tidak pernah belajar, bahwa proses kreatif itu muncul ketika ada sekian ketentuan yang membingkai sebuah karya seni. Coba lihat dimana indahnya sebuah seni tari? Karena para penari “dibatasi” geraknya oleh aturan kebersamaan dan hentakan alunan music bukan?? Sehingga tercipta sebuah harmoni yang indah antara satu group penari yang selaras dan sesuai dengan indah alunan music nan membuai. Pernahkah terbayang kalau para penari itu dibebaskan bergerak tanpa aturan yang membatasi?? Maka akan anda temui kesemrawutan gerakan dan kebrutalan tarian yang kan menghilangkan keindahan seni itu sendiri bukan?? Maka apakah hal ini yang disebut kreatifitas??

Diantara anda mungkin ada yang berkata kepada saya, kenapa saya tidak berdoa saja agar Film Indonesia yang baik dibiarkan tumbuh dan Film Yang tidak bermutu di doakan agar supaya sadar?? Daripada mengharapkan Film Indonesia mati suri (lagi) ? Wah, betapa idealnya doa itu.Tapi saya merasa itu adalah doa yang “sia-sia”. Karena itu sama aja dengan kita meminta kepada Allah agar seluruh bangsa Setan dan Iblis itu dibinasakan oleh Allah saat ini juga, dan biarkan hanya Malaikat dan manusia yang mengisi indahnya dunia. Menurut antum, apa yang jawaban Allah atas doa semacam itu??

Sekali lagi, terima kasih kepada semua pelaku seni maksiat dan Industri Pornografi di Indonesia. Karena bantuan andalah, maka Dunia perfilm-an Indonesia akan segera menemui ajalnya. Dan mempertanggung jawabakan segala tingkah polahnya kepada Tuhan, yang selama ini dengan sombong mereka perlakukan seenaknya……

Wallhua a’lam..

0 komentar:

Posting Komentar

 

W3C Validations

Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Morbi dapibus dolor sit amet metus suscipit iaculis. Quisque at nulla eu elit adipiscing tempor.

Usage Policies