WEB BLOG
this site the web

Belajar Mengumpat Dari Televisi

Coba nyalakan televisi antum di chanel manapun. Lalu cobalah mengitung, berapa kali antum temukan kalimat yang bernada mengumpat dari sekian acaranya. Yah, hari-hari ini kita memang dijejali oleh pemberitaan tentang cacian Luna Maya terhadap “Hamba Tajassus”, para penghamba “mata-mata” dan hamba “ghibah” yang dilaknat oleh Rasulullah yang mencari nafkah dengan jalan mencari-cari kesalahan dan aib orang lain, dana setelah ketemu, bukannya menutupinya, tapi malah menginfokan-nya secara luas dikalangan masyarakat…Na’udzubillah min dzalik…

Saya-pun tak hendak mengurai siapa yang benar dan yang salah dalam masalah ini. Sebab kebenaran di negeri ini sudah amat sangat sumir untuk dibahas. Yang ingin coba saya tuliskan adalah betapa besarnya pengaruh televisi terhadap kebiasaan mengumpat di negeri ini. Betapa banyaknya ungkapan kasar secara verbal dengan lancar mengalir menembus dinding fikiran kita dengan cepat setiap hari berkali-kali. Dan tanpa kita sadari, hal yang seharusnya menjadi aib itu akhirnya menjadi kebiasaan yang kita toleransi sendiri. Pelan tapi pasti, kita telah menjadikannya sebagai “kejahatan” yang bisa dimaklumi, bahkan terkadang malah kita tertawakan.

Infotainment?? Jelas itu biangnya..!! Coba lihat bagaimana mantan suami seorang artis mencela mantan istrinya dan atau sebaliknya. Lalu dibumbui oleh komentar presenternya yang bernada “profokatif” dan membakar. Atau bagaimana seorang ibu secara sangat jelas mencaci maki anaknya sendiri, dan dibalas oleh anaknya sebagai mencari sensasi.Tidak perlu banyak alasan untuk menyebut program satu ini sebagai biang bagi penonton untuk belajar celaan dan umpatan.

Coba geser chanell antum ke siaran berita. Dan simaklah, bagaimana berita demonstrasi, penolakan penggusuran, perkelaihan antar kampung, dan bahkan tentang debat politikus, secara amat sangat fasih mengajari kita bagaiamana mencela dan menghujat orang lain secara “baik dan benar”. Seakan-akan menyebut lawan pilitik sebagai antek syetan adalah syah, menyebut musuh di seberang kampung sebagai binatang adalah wajar, dan sebagai bentuk ungkapan kekesalan, menyebut orang lain sebagai keuturunan iblis adalah hal yang mafhum. Ironi bukan?? Jadi bukan Cuma infotainment saja yang mengajarkan ungkapan mengumpat seperti itu

Bosan dengan kekesalan di stasiun berita kita?? Coba chanel olah raga, dan kembali simak perhelatan siaran langusung sepak bola di tv. Daintara suara heroic sang komentator, pernah kah antum mencoba mencuri dengar teriakan penonton yang memenuhi stadion?? Kalau telinga antum jeli, akan antum dengar alunan lagu pendukung semanagat tim kesayangannya, yang kembali diselingi umpatan kepada tim lawan atau wasit….”tim per****** di bunuh sajaa…”, “ wasiiit…g****k!!”, dan banyak lagi ungkapan yang lain membahana di seantero stadion. Tak sebanding memang kalau membadingkan supporter kita dengan tifosi di liga Italy misalnya, atau supporter di Primier League yang menyaksikan sepak bola laksana melihat konser music klasik. Tenang, responsive, bertepuk tangan bila ada peluang, dan –paling banter- berteriak emosional sesaat bila pemain timnya dikasari lawan. Tapi paling tidak, bisakah supporter kita paling tidak mengurangi sedikit saja untuk tidak menghina atau melecehkan tim lain. Karena sesungguhnya…” Musuh Yang Pandai Itu Lebih baik daripada Kawan Yang Bodoh”

Mau coba lihat film kartun?? Pernah menyimak sinchan yang dengan lancar menyebut kalimat “bodoh”, “kurang ajar”, “banci” dan umpatan lain?? Atau SpongeBob yang juga sangat biasa mengucap “tolol”, “dasar makhluk berlendir yang kotor”, “aku membencimu”, dan masih banyak lagi?? Sangat tidak aman bagi super memory anak-anak kita. Dan coba perhatikanlah perubahan perilaku anak-anak kita sesaat setelah menyaksikan film tersebut. Nampak jadi lebih agresif bukan?? Baik kata-katanya maupun tindakannya??

Lalu hiburan apa yang bisa kita nikmati tanpa kalimat celaan dan hinaan kepada orang lain?? Acara komedi?? Wah apalagi ini, kalau mau jujur sih, terkadang celaan dan hinaan itu malah membuat kita terkekeh-kekeh…Antum semua tentu pernah tersenyum terbahak-bahak ketika mendengar si Sule memanggil Aziz Gagap dengan…”eh Jamblang..” Atau “eh taplak meja…” dan kata-kata “lucu” lainnya..Komedi satir yang seharusnya mempertontonkan komedi cerdas malah sekarang justru kembali ke Jalur Komedi lama yang mengumbar celaan fisik kepada lawan mainnya..Atau mau lihat sinetron?? Drama kehidupan yang menceriterakan kisah cinta negeri antah berantah (karena pemainnya kaya-kaya semua dan kisahnya banyak yang ga masuk akal sama sekali) kita perlu tutp telinga rapat-rapat untuk tidak usah mendengar bagaimana ada saling cela dan hina dengan bahasa yang benar-benar fulgar…kalimat “b******n”..” bedebah”…” kutampar kamu…!!!” (masa ada nampar orang bilang2??, keburu lari tuh orangnya) lalu lalang dari lisan para pelaku seni peran itu….Jadi hiburan apa yang kita dapatkan dari semua cerita sumir itu???

Para khalayak pekerja seni dan “wartawan” infotainment (sengaja saya pakai tanda kutip, karena saya tidak setuju pelaku Infotainment disebut waratawan) mengatakan bahwa tujuan orang menonton televisi adalah mencari hiburan, dan bukan pendidikan. Jadi kalau mau cari acara yang mendidik, ya di sekolahan dong, bukan ditelevisi. Deemikian senantiasa alasan yang dikemukakan oleh para pelaku seni dan komunitas kaum “seniman” kapitalis yang terlibat di dalamnya. Mereka mungkin lupa, bahwa sehebat apapun teori di sekolah mengajarkan budi pekerti dan ilmu pengetahuan selama 8 jam di sekolah, tapi dalam hitungan menit semua itu akan hancur diterjang tsunami siaran kotak segi emapat bernama televisi.

Alasan kedua yang sering diapakai oleh mereka adalah, “masyarakat banyak yang mau, secara hukum ekonomi, ya sah-sah saja kalau acara-acara it uterus ada”..Walah, ini malah alasan yang bener-bener diada-adakan. Masyarakat itu kalau boleh jujur, bukan karena suka melihat acara-acara ghibah dan maksiat seperti itu, tapi karena ga ada pilihan. Semua televisi seakan sepakat untuk memutar hal yang sama meskipun dengan “baju” yang berbeda-beda. Masyaraka sebenarnya sudah betul betul muak dengan segala acara samapah yang hadir di televisi. Tapi mau bagaimana lagi, tidak ada pilihan acara lain yang menarik diantara semua statsiun TV yang ada. Jadi mau tidak mau ya mereka menonton semua acara sampah itu. Buktinya, sinetron “Para pencari Tuhan” dan “kiamat sudah dekat” mencapai TOP Rank, meskipun diputar diwaktu yang sangat-sangat “Abnormal”,yaitu ketika sahur, dini hari. Sangat melawan arus, karena hamper semua stasiun TV menayangkan acara komedi konyol dan kuis tak bermutu (pertanyaannya terlalu mudah, bahkan kadang2 jawabannya sengaja diberitahukan) .

Sintron besutan Dedy Mizwar itu seakan mengobati kerinduan masyarakat terhadap tontonan yang sekaligus tuntunan. Tontonan yang bermutu. Jalan ceritanya sederhana, pemainnya alami ga dibuat-buat, kalau memang acting wajah jelek ya jelek (ga seperti sinetron umunya, masak adegan bangun tidur masih mau wajah cakep), dialognya urban banget, ga lebay, dan factual, ini yang penting, masyarakat bisa mencontoh, kalau mau kaya, kyai sekalipun musti kerja (di sebagaian sinetron kyai Cuma bawa tasbih, keliling kampung sambil nunggu “Rahasia Ilahi”), bahwa orang bisa bahagia meskipun tanpa mobil, blackberry, atau rumah mewah, bahwa orang bisa mengungkapkan kebenciannya tanpa perlu mengumpat, menghujat, manghafalkan nama penghuni Ragunan, bahwa cinta kepada lawan jenis bisa di visualkan tanpa harus memperlihatakan adegan berpelukan, bermesraan atau bergandengan tangan, dan bahwa dakwah agama itu tidak perlu kaku dengan kekerasan dan atau seribu jam pidato pengajian, cukup visualkan saja, bahwa hidup bisa sangat indah dan bermakna dengan keptuhan total kepada Allah dan ketulusan menunut ilmu tanpa henti, kapanpun, dimanapun, dan kepada siapapun…

Tak henti rasanya hati ini berharap, dan tangan ini meminta kepada penguasa jagad raya…Semoga Islamic Broadcasting Network segera ada dan menjadi nyata, agar kelak menonton televisi, sama pahalanya dengan mengaji, shaum sunnah, dan menebar kasih saying kepada sesama

Wallahu a’lam

0 komentar:

Posting Komentar

 

W3C Validations

Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Morbi dapibus dolor sit amet metus suscipit iaculis. Quisque at nulla eu elit adipiscing tempor.

Usage Policies